Persaingan perebutan kursi ketua umum Partai Golkar antara Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo adalah imbas
Persaingan perebutan kursi ketua umum Partai Golkar tidak terlepas dari beberapa masalah serius yang dihadapi oleh Partai Golkar saat ini. Bambang Soesatyo yang sudah mundur dari bursa pencalonan kursi ketua umum sebelumnya bersikeras untuk menjadi pesaing utama Airlangga.
Ngototnya Bamsoet tidak terlepas dari "kegagalan" Airlangga Hartarto memimpin Golkar beberapa tahun terakhir ini. Memang sulit bagi kita untuk percaya bahwa di masa kepemimpinan Airlangga Hartarto terdapat sejumlah kegagalan fatal.
Oleh karena itu, kita harus melihat kembali beberapa prestasi, kegagalan dan gejolak yang dialami Partai Golkar dalam beberapa tahun terakhir.
Pada pemilihan legislatif tahun 2009, Golkar dibawah kepemimpinan Jusuf Kalla mendapat 15.037.757 suara (14,5%) dan mendapatkan 107 kursi di DPR. Perolehan suara dan kursi tersebut hanya kalah dari Partai Demokrat.
Pada tahun yang sama, Jusuf Kalla harus mengakui kekalahannya dari SBY dalam pemilihan presiden. Pasca kekalahannya, Kursi ketua umum Golkar diambil alih oleh Aburizal Bakrie. Dibawah kepemimpinan Bakrie, pada pemilu 2014, Golkar masih tetap mempertahankan posisinya setelah mendapat  suara sebanyak 18.432.312 (14,75%).
Setelah era Aburizal Bakrie, terjadi sebuah gejolak dan persoalan serius dalam tubuh Golkar. Dari tahun 2014-2016 persoalan tersebut menimbulkan dualisme kepemimpinan dalam Partai Golkar. Salah satu kubu mengadakan Munas di Bali dan memilih Aburizal Bakrie sebagai Ketum Golkar sedangkan kubu lainnya mengadakan Munas di Jakarta memilih Agung Laksono.
Akan tetapi, setelah mantan Ketum Golkar, Jusuf Kalla memimpin semangat rekonsiliasi antara dua kubu tersebut pada tahun 2016, semua setuju untuk mengakhiri semua gejolak dan polemik dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa di Bali.
Karena itu, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono legowo untuk partai berlambang beringin ini dipimpin oleh figur lain dari partai. Saat itu, kursi ketua umum diperebutkan secara ketat oleh Ade Komarudin dan Setya Novanto. Dari total 544 suara yang diperebutkan, Setya Novanto meraih 277 suara atau 50% + 5 suara dan keluar sebagai pemenang karena memenuhi syarat perolehan suara 50%+1.
Ada ekspektasi baru dari semua kader Partai Golkar terhadap Setya Novanto untuk membuat kondisi partai kembali kondusif. Harapan lainnya, Setya Novanto mempertahankan prestasi Golkar atau mengembalikan kejayaan Golkar.
Namun, harapan tersebut ibarat diukir di atas pasir. Hilang dihapus air dan ditiup angin setelah Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP. Setya Novanto mundur dari kursi ketua umum Partai Golkar dan digantikan oleh Airlangga Hartarto.