Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Perjalanan Kelam" Billy Mambrasar, Stafsus Presiden Jokowi

28 November 2019   08:19 Diperbarui: 28 November 2019   15:02 6534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tirto.id | Billy Mambrasar merupakan pendiri Yayasan Kitong Bisa

Staf Khusus Kepresidenan akan digaji sebesar 51 juta rupiah. Hal tersebut menuai bullying dari media dan netizen tapi sayangnya tidak ada yang mengerti latar belakang salah satu Stafsus yang bernama Billy Mambrasar.

Ia, pria asal Serui, Kepulauan Yapen, Papua memiliki masa lalu kehidupan keluarga yang sangat kelam. Keluarga mereka adalah keluarga yang sangat miskin. Meski ayahnya merupakan seorang guru, ayahnya hanyalah sebatas guru honorer hingga usia tuanya.

Kita tahu, guru honorer di desa itu seperti apa. Gaji yang minim dan diperoleh dalam durasi waktu tiga bulan sekali. Bahkan, ada kondisi dimana ayahnya tidak menerima upah.

Karena itu, berjualan kue merupakan modal utama mereka mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ibunya berjualan di pasar sedangkan Billy berjualan di sekolahnya. Begitu pulang sekolah, Billy menggantikan ibunya di pasar. Itulah pekerjaan mereka setiap hari ketika ia masih mengenyam pendidikan dasar dan menengah di tanah Papua.

"Subuh ibu bikin kue, paginya ibu pergi ke pasar jualan, kami ke sekolah sambil bawa kue untuk dijual," ujar Billy.

Disisi lain, mereka tinggal dibawah sebuah gubuk beratapkan daun sagu, berdinding gabah-gabah dan berlantaikan tanah. Meskipun demikian, dibawah penerangan lampu pelita, Billy terus berjuang dengan belajar lebih giat untuk menggapai cita-citanya kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Orang tua Billy sempat menolak rencananya untuk berkuliah di luar Papua karena bagi seorang penjual kue sangatlah sulit. Meski demikian, kehidupan Billy dan keluarga yang penuh perjuangan menjadikan Billy sebagai orang yang tidak mudah menyerah dengan keadaan.

Karena tekadnya yang begitu kuat, orang tuanya berjuang agar ia berhasil mendaftar S1 di ITB saja. Orang tuanya masuk keluar rumah, masuk keluar dinas meminta sejumlah uang secara sukarela untuk membantu anaknya mendaftar di ITB karena jika meminjam, mereka tidak mampu untuk mengembalikannya. Sukacita tersendiri bagi Billy karena budaya orang Papua yang penuh kasih tidak tanggung-tanggung memberi uang untuk membantu Billy bersekolah.

"Karena saya penjual kue, saya terbiasa tidak mudah menyerah dan membulatkan tekad kuliah ke Jawa. Saya ingin kuliah di ITB, kampus teknik terbaik. Melihat tekad saya, orang tua kemudian berkeliling minta bantuan, mengetuk pintu dinas satu ke dinas lainnya untuk minta bantuan dana," kenang Billy.

Sedihnya, uang tersebut hanya cukup untuk dirinya mendaftar, ia ditugaskan untuk mencari jalan sendiri dalam membiayai kebutuhan selanjutnya.

Di Bandung, naluri Billy sebagai seorang penjual kue tidak hilang. Ia kembali berjualan kue dan karena ia memiliki suara yang cukup bagus, ia mengamen maupun menyanyi di kafe dan pernikahan untuk mendapatkan tambahan uang makan dan biaya hidup. Bahkan ia pernah mengikuti audisi Indonesian Idol.

Sedangkan uang kuliahnya ia berhasil memperoleh bantuan dari beasiswa afirmasi dari pemerintah untuk anak Papua.

Saat menjalani studi S1 Teknik Pertambangan dan Perminyakan di ITB, ia sempat menjalani masa transisi yang mengkwatirkan. Pada semester awal, ia hanya mampu meraih IP 1,5 karena ia harus bersaing dengan orang-orang di luar Papua yang pendidikannya jauh lebih baik. Tertekan secara psikis, itulah yang dialami Billy.

Billy terancam drop out pada semester berikutnya karena syarat di ITB tidak boleh meraih IPK dibawah 2 pada dua semester pertama.

Billy tahu, apa yang harus dilakukan. Ia terus berjuang dan akhirnya ia menyelesaikan studi S1-nya. Ia kemudian bekerja di sebuah perusahaan migas milik Inggris dengan gaji yang cukup fantastis. Di Hitam Putih, Billy tak tanggung-tanggung mengiakan jika gajinya lebih tinggi dari saat ini ia menjabat sebagai staf khusus presiden.

Akan tetapi, selain ia merasa berhutang budi dengan tanah Papua, Billy ingin membangun SDM Papua sehingga ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan kembali. Di sana ia mendirikan "Yayasan Kitong Bisa" untuk membantu anak-anak Papua bersekolah seperti dirinya.

"Saya melihat kompleksitas pendidikan dan juga akses pendidikan masih menjadi kendala di Papua, oleh karenanya kami fokus dalam pembangunan SDM. Hal ini sesuai juga dengan komitmen Presiden Jokowi dalam membangun SDM," terang dia.

Yayasan Kitong Bisa kini menjelma sebagai surga untuk para kaum miskin di tempat kelahirannya. Saat ini, 20 orang orbitan "Kitong Bisa" sedang menempuh studi di berbagai universitas ternama dunia. Bahkan, ada beberapa di antaranya sudah menjadi pengusaha.

Karena itu, Pada tahun 2017, ia ditunjuk sebagai utusan Indonesia yang berbicara tentang isu pendidikan di Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Dan ditunjuk sebagai duta muda pembangunan berkelanjutan atau SDG's asal Indonesia hingga saat ini.

Usahanya membangun Papua mengantarkan Billy ke Australia. Ia menyelesaikan studi di Australian National University (ANU) dengan beasiswa dari Pemerintah Australia dan menjadi mahasiswa terbaik pada 2015.

Tak puas disana, Billy menempuh studi gelar Magister (MSc) dalam bidang bisnis di Universitas Oxford, Inggris dan saat ini sedang dalam proses penyelesaian tesis.

Menariknya, sebelum menyelesaikan Magister di Oxford, Billy sudah memperoleh beasiswa LPDP untuk studi doktor di Amerika Serikat.

Itulah Perjalanan Billy Mambrasar. Sebuah gubuk beratapkan daun sagu berhasil mengorbitkan seseorang yang menjadi salah satu pilar utama pembangunan SDM orang Papua.

Billy sudah merasakan betapa pedihnya hidup dalam keluarga yang miskin dan orang tua yang hanya sebatas guru honorer. Kini, ia menjabat sebagai staf khusus kepresidenan, kita berharap suara-suara guru honorer, kaum-kaum miskin dan sebagainya didengar di istana.

Salam!!!

Neno Anderias Salukh

Referensi: Tirto.id dan YouTube: Hitam Putih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun