Atola adalah salah satu budaya berbahasa yang memiliki makna penting dalam budaya berbahasa Orang Amanuban. Namun, budaya tersebut sudah hampir punah.
Nusa Tenggara Timur yang terdiri dari beragam suku memiliki banyak bahasa daerah. Salah satu bahasa yang yang paling banyak penuturnya adalah Bahasa Dawan. Menurut catatan sejarah, penutur Bahasa Dawan mencapai 600.000 penutur.
Meski demikian, dialeg dan logat setiap setiap sub-suku di Suku Dawan memiliki perbedaan. Sub-suku di Timor Tengah Selatan (Amanuban, Amanatun dan Mollo) dengan dialeg dan logatnya, begitu pun sub-suku lainnya seperti di Timor Tengah Utara (Miomafo, Biboki dan Insana) dan sebagian sub-suku Kota dan Kabupaten Kupang (Kopas, Timaus, Amfoang, Sonba'i dan Nairasis) termasuk sub-suku di Oecusse, Timor Leste (Ambeno).
Dari perbedaan dialeg tersebut, Suku Dawan tidak lagi dikelompokkan berdasarkan kerajaan tetapi di kelompok sesuai dengan dialeg masing-masing karena terdapat beberapa sub-suku yang memiliki kesamaan dialeg.
Dawan R adalah orang-orang Amarasi yang terletak di Kabupaten Kupang dan beberapa di Kabupaten Malaka, Dawan J seperti orang-orang Mollo dan Dawan L seperti orang-orang Amanuban .
Dialeg Dawan R identik dengan setiap huruf L diganti dengan huruf R begitupun sebaliknya dialeg Dawan L identik dengan setiap huruf L diganti dengan huruf R. Misalnya "Reko" menjadi "Leko" dan sebaliknya yang berarti "Baik". Sedangkan Dawan J identik dengan mayoritas kata yang diucapkan mengandung huruf J. Misalnya "Bia" atau "Bie" menurut orang Amanuban sedangkan menurut orang Mollo "Bijae" yang berarti Sapi.
Namun demikian, dialeg Amanuban dalam Uab Meto memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan dialeg Dawan yang lain. Perbedaan ini terletak pada cara menuturkannya. Awalnya, saya pikir sama tetapi setelah mengunjungi beberapa sub-suku termasuk mencoba berdialog dengan mereka, saya menemukan perbedaan tersebut.
Orang Amanuban selalu menambah beberapa kata disetiap akhir kalimat atau kata yang diucapkan. Menurut cerita para orang tua, budaya berbahasa seperti itu adalah bahasa kerajaan atau yang digunakan dalam pembicaraan dengan raja, dikenal dengan istilah "Atola".
"Atola" adalah memperlakukan lawan bicara layaknya seorang raja dan menandakan kerendahan hati seseorang dalam berbicara. Atola menunjukkan bahwa orang yang berbicara menghormati dan menghargai lawan bicara. Itulah yang diajarkan oleh para nenek moyang kami.
Menarik, orang yang tidak mampu melakukan "Atola", akan dianggap sebagai orang "bodoh" karena tidak menunjukkan kerendahan hati dalam berbicara.
Adapun kata-kata yang sering digunakan disetiap akhir kalimat sebagai bentuk "Atola" adalah seperti "Pah" yang merupakan kata yang paling sering digunakan disetiap akhir kalimat maupun kata yang diucapkan. Misalnya "He" yang berarti "ia" dianggap tidak sopan oleh orang Amanuban. Harusnya ditambah dengan "Pah" menjadi "He Pah". Selain itu, "Ahoit", "Pah" + "Tuan" (Pahtuan), "Ahoit" + "Alalat" (Ahoit Alalat), "Manapinat", "Neno Anan".