Bukan hanya UU KPK, beberapa UU ini berlaku tanpa tanda tangan Presiden karena menuai pro-kontra.
Tanpa tanda-tangan Presiden, Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2019.
Undang-undang ini disahkan secara paksa oleh DPR pada 30 hari yang lalu meski mendapat banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat termasuk demonstrasi besar-besaran dari mahasiswa.
Meski demikian, aturannya jika suatu undang-undang yang telah disahkan oleh legislatif akan tetap berlaku walaupun tidak ditandatangani oleh presiden. Namun, hal tersebut berlaku 30 hari setelah pengesahan. Dibatalkan jika adanya peraturan perundang-undangan (Perppu) dari presiden.
Nah, berlakunya UU KPK merupakan salah satu dari beberapa undang-undang yang berlaku tanpa ganda tangan presiden karena mengalami pro-kontra.
UU tentang Advokat
Undang-undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat mengatur tentang kode etik dan profesi advokat.
Undang-undang ini disahkan oleh anggota DPR pada tanggal 6 Maret 2003 tetapi tidak ditandatangani Presiden Megawati.
Pada waktu itu, Presiden Megawati tidak menandatangani UU tersebut karena terjadi perdebatan panjang dimana Sarjana Syari'ah diizinkan menjadi advokat.
Berawal dari polemik sarjana hukum yang menguasai hukum Islam bisa menjadi hakim di lingkungan Peradilan Agama (Pasal 13 (g) UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama) dan sebaliknya seorang sarjana syari'ah yang menguasai hukum umum tidak bisa menjadi hakim di lingkungan Peradilan Umum, tim penyusun undang-undang advokat akhirnya menyetujui advokat berasal dari sarjana syariah.
Karena mendapat persetujuan yang lebih banyak, undang-undang tersebut disahkan oleh DPR dan berlaku secara otomatis tanpa tanda tangan Megawati.
Menurut pendapat umum, keputusan Megawati untuk tidak menandatangani undang-undang tersebut adalah untuk mencari aman dan terlihat lebih netral ditengah perdebatan yang ada.
Sampai dengan saat ini, perdebatan tersebut tinggal kenangan karena UU Advokat tetap berlaku.
UU Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau
Pada tahun 2002, wacana pembentukan provinsi baru khususnya Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau mulai dilakukan hingga akhirnya menemui titik temu di lingkungan para elit.
Namun, wacana yang hampir rampung dalam pembahasan UU pembentukannya menuai pro-kontra dari masyarakat Riau sendiri. Akibatnya, Megawati yang menjabat sebagai presiden kala itu meminta kepada DPR untuk menunda pembahasannya.
Akan tetapi, pengesahan Rancangan Undang-undang Pembentukan Provinsi Kepri oleh Panitia Khusus Kepri DPR tetap ngotot dan mengesahkannya pada tanggal 15 Juli 2002 atas persetujuan sembilan fraksi.
Meski demikian, Megawati dan Hari Sabarno yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pada waktu itu tidak menghadiri rapat paripurna pengesahan RUU tersebut.
Alasannya adalah Mendagri telah menyerahkan surat tertulis kepada DPR untuk tidak menghadiri rapat dengan permintaan pengesahan ditunda supaya rencana pembentukan Kepri dibicarakan dahulu di antara partai-partai yang terwakili di DPRD dan harus melibatkan gubernur Riau.
Meski demikian, UU Kepulauan Riau tetap berlaku hingga saat ini.
UU tentang Penyiaran
Pada tahun 1997, DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran. Namun seiring berjalannya waktu Undang-undang tersebut dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi termasuk perkembangan penyiaran di Indonesia.
Pada tahun 2002, DPR melakukan revisi terhadap undang-undang tersebut dengan mengesahkan UU No 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Namun, pengesahan UU Penyiaran sempat menuai tidak persetujuan dari pemerintah bahwa masih banyaknya substansi yang terdapat dalam UU Penyiaran yang harus dibahas bersama.
Substansi yang diperdebatkan adalah keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan kewenangan pemerintah dalam pemberian izin penyelenggaraan penyiaran.
Menurut pemerintah, Pembentukan lembaga baru ini (KPI) akan menimbulkan pro kontra dari masyarakat terkait dengan kebebasan berpendapat dan izin penyelenggaraan penyiaran seharusnya berada dalam wilayah pemerintah yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika bukan KPI.
Akibatnya, undang-undang yang telah disahkan ini tidak ditandatangani oleh Megawati sebagai presiden.
Agar anggaran pembangunan proyek, perencanaan perbaikan anggaran dan anggaran proyek pembangunan dapat dikelola dengan baik, DPR membahas RUU tentang Keuangan Negara.
Pada saat itu, terjadi perdebatan antara lembaga terkait yaitu Bapenas dan Departemen Keuangan. Bapenas yang merencanakan pembangunan nasional berbeda pendapat dengan Departemen Keuangan yang mengelola keuangan negara.
Di tengah perbedaan pendapat tersebut, DPR memilih untuk tetap mengadakan rapat paripurna untuk mengesahkan RUU yang telah rampung.
Berbeda dengan DPR, Presiden Megawati mengambil jalan tengah dengan tidak menandatangani undang-undang tersebut.
Demikian beberapa Undang-undang yang berlaku tanpa tanda tangan presiden karena menuai pro-kontra.
Salam!!!
Neno Anderias Salukh
Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat: (URGENSI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN, Denico Doly)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H