Namun, beberapa kasus bunuh diri termasuk kematian Sulli membuka pikiran saya bahwa manusia memiliki hati dan kesehatan mental yang berbeda-beda. Mungkin saya mampu menjalani sebuah tekanan hidup tapi bagi orang lain tidak.
Kasus kematian Sulli memberikan sebuah pelajaran penting untuk kita. Seringkali kita tidak mendengar orang lain berbicara apalagi mengertinya.
Sulli sudah memberitahukan secara langsung bahwa ia memiliki gangguan kesehatan mental atau fobia sosial tetapi hujatan tetap mengalir kepadanya. Bahkan orang-orang terdekatnya pun meninggalkannya.
Kita lebih banyak mengkritik perilaku dan penampilan orang lain daripada memberikan saran dan komentar positif. Bahkan kita lebih memilih melakukan bullying daripada mengapresiasi karya dan prestasi orang lain.
Karena, kita tidak pernah berusaha memposisikan diri kepada orang yang kita kritik untuk dimengerti segala suka dukanya.
Kita menggunakan media sosial hanya untuk menghujat orang lain padahal kita tidak mengenalnya dengan baik. Kita berlaku seperti orang yang lebih baik dari semua orang. Kita merasa memiliki hak yang lebih dari Pencipta untuk menghina dan menghakimi orang lain. Kita lupa bahwa, semua manusia diciptakan sama, ada sisi positif dan negatifnya.
Kematian Sulli sebagai bukti bahwa bullying akan menjelma sebagai pembunuh nomor satu di dunia dan media sosial menjadi senjata ampuh yang akan digunakan.
Media sosial tidak digunakan sebagai media untuk interaksi sosial yang positif tapi digunakan untuk mencari kesalahan orang, menghujat dan menghina bahkan untuk membunuh orang lain.
Kita memang miskin orang yang mendengar dan kaya orang yang memiliki kemampuan bullying. Boleh mengkritik dan berkomentar tapi bukan untuk menyerang personal. Jadilah bijak dalam mengkritik dan menggunakan media sosial.
Salam!