Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Harapan dari "Judical Review" Terkait dengan Pengesahan RUU KPK

19 September 2019   02:31 Diperbarui: 19 September 2019   07:37 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski telah disahkan dalam rapat paripurna DPR, UU KPK masih bisa dibatalkan dengan berharap pada presiden yaitu pembatalan oleh presiden karena beberapa pertimbangan dan penerbitan Perppu oleh presiden.

Akan tetapi, mengharapkan hal tersebut terjadi ibarat si cebol merindukan bulan. Mustahil untuk terjadi. Pasalnya, Presiden Jokowi menyetujui dan memberikan surat rekomendasi melalui menteri Hukum dan HAM untuk ikut mengesahkan RUU KPK.

Namun beberapa kejanggalan yang terjadi selama proses revisi UU KPK masih bisa dijadikan sebagai dasar hukum untuk membatalkan UU KPK yang telah disahkan ini. Caranya adalah mengajukan uji materi atau Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Melihat dari banyaknya masyarakat sipil yang menolak revisi UU KPK ini termasuk lembaga pegiat antikorupsi ICW maka kemungkinan beberapa kelompok masyarakat mengajukan Judical Review.

Akan tetapi, dilansir dari Tribunnews, MK telah menerima 18 permohonan Judical Review yang berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari mahasiswa, politikus, hingga wiraswasta.

Judical Review merupakan proses peninjauan tindakan eksekutif dan legislatif oleh badan yudikatif.

Sebetulnya kita mesti bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui pemikir politik Perancis, Montesquieu, Trias Politica dapat terbentuk sehingga kita bisa menjadikan itu sebagai dasar untuk melakukan Judical Review.

Trias Politika adalah bentuk pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga bagian yaitu eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, legislatif sebagai pembuat undang-undang,  dan yudikatif sebagai engawas pelaksanaan undang-undang.

Dilansir dari Wikipedia, lembaga yudikatif memiliki power untuk mengontrol seluruh lembaga negara termasuk eksekutif dan legislatif yang menyimpang atas konstitusi yang berlaku pada negara yang bersangkutan.

Perannya sebagai alat penegakan hukum, hak penguji material (Judical Review), penyelesaian penyelisihan, hak mengesahkan peraturan hukum atau membatalkan peraturan apabila bertentangan dengan dasar negara.

Nah, Kejanggalan-kejanggalan yang digunakan sebagai dasar hukum pengajuan Judical Review adalah tidak terlibatnya KPK sebagai lembaga terkait dan suara publik yang tidak dihiraukan, bukan proglenas 2019 dan pengesahan dilakukan oleh 70-an anggota DPR.

Dasar hukum KPK tidak dilibatkan

Tindakan Presiden yang tidak mendengar suara masyarakat dan tidak melibatkan KPK akan menjadi hambatan bagi upaya mereka mengesahkan UU KPK yang baru ini.

Hal ini diatur dalam Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi demikian:

  • (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  • (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:

a. rapat dengar pendapat umum;

b. kunjungan kerja;

c. sosialisasi; dan/atau

d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

  • (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atau substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

Dasar hukum bukan proglenas 2019

Revisi UU KPK yang tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019 akan menjadi boomerang bagi DPR sendiri. RUU yang tidak masuk dalam Proglenas tahunan seharusnya tidak dibahas dalam tahun tersebut meskipun masuk dalam daftar RUU satu periode kerja.

Dalam UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga mengatur tentang hal ini, khususnya pasal 45.

Pasal 45

  • (1) Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas

RUU yang tidak masuk dalam Proglenas dapat dibahas dan disahkan jika memenuhi beberapa ketentuan dalam pasal 23 ayat 2 yang berbunyi demikian:

  • (2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:

a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan

b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Jika kita melihat kembali alasan revisi UU KPK maka tidak ada keadaan yang luar biasa atau menjadi sebuah urgensi nasional, apakah rendahnya indeks korupsi Indonesia adalah urgensi nasional? Belum tentu juga, kecuali KPK tidak menjalankan tugas utamanya dengan efektif sehingga banyak koruptor yang berkeliaran.

Meski demikian, Mahkamah Konstitusi memiliki kemampuan untuk menganalisis urgensi nasional atau luar biasa dibalik revisi UU KPK.

Dasar hukum disahkan oleh 70-an DPR

Dalam Pasal 150 ayat 2 Peraturan Perwakilan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib mengatakan bahwa Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur Fraksi.

Oleh karena itu, sebagai bukti anggota rapat yang hadir, disiapkan daftar hadir yang akan ditandatangani oleh seluruh anggota legislatif yang hadir.

Dalam rapat paripurna pengesahan RUU KPK ini, daftar hadir ditandatangani oleh 289 orang. Akan tetapi, berdasarkan pantauan media, hingga palu diketok kehadiran di parlemen hanya 70-an orang saja.

Jika 289 orang itu adalah rekayasa maka sangat mungkin kejanggalan ini dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Akan tetapi, klarifikasi dari Fahri Hamzah bahwa pengesahan itu hanya dua opsi yaitu setuju dan tidak setuju sehingga jika kehadiran hanya berjumlah 5 orang maka tidak dapat dipermasalahkan, pengesahan tetap dijalankan.

"Paripurna untuk voting itu, tidak harus hadir, tapi lewat chat, bahkan kalau sudah pembicaraan tingkat I itu sudah aklamasi antara pemerintah dan DPR, itu seharusnya tidak perlu lagi, karena setiap anggota punya kerahasiaan untuk voting itu juga, nah wartawan sebelum keliru melihat paripurna ini objek foto, yang sebenarnya jadi nggak anu (salah paham) sama rakyat. Padahal ruangan paripurna cuma setuju atau tidak setuju, mau 500 yang ambil keputusan atau 5 orang sama saja opsinya tinggal dua di sini," kata Fahri Hamzah.

Oleh karena itu, kejanggalan ini belum dapat dipastikan pengaruhnya dalam Judical Review. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menyatakan bahwa DPR salah atau tidak, begitupun dengan kedua kejanggalan yang lain.

Dari ketiga kejanggalan tersebut, setidaknya dua dan minimal satu kejanggalan yang diharapkan menjadi dasar hukum yang dianggap sebagai tindakan yang melanggar konstitusi negara Indonesia.

Ataupun jika tidak ada kejanggalan, diharapkan Mahkamah Konstitusi melakukan check and balance untuk revisi UU KPK ini sehingga dapat mengurangi keresahan masyarakat Indonesia bahwa benar tidak ada kepentingan politik lain selain untuk menguatkan KPK.

Salam!!!

Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat; Lima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun