Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Satu Lagi "Hal Aneh" dalam Revisi UU KPK

18 September 2019   15:05 Diperbarui: 18 September 2019   15:45 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revisi UU KPK yang telah disampaikan sempat menuai kontroversi hingga saat ini. Terdapat beberapa poin yang menjadi pertanyaan publik, apakah KPK diperlemah atau diperkuat?

Hal yang paling banyak disorot oleh publik adalah pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK termasuk izin pengeledahan.

Fungsi dewan pengawas dinilai akan mempersempit ruang gerak KPK dan membuat KPK tak berdaya lagi. Pasalnya, dewan pengawas bisa berkepentingan dalam pengeledahan.

Menanggapi reaksi publik, Jokowi bukan membatalkan revisi UU KPK tetapi menyetujuinya dengan catatan. Angin segar bagi publik tetapi catatan yang diberikan oleh Jokowi pun menuai pro-kontra

Jokowi tidak menyetujui pemilihan dewan pengawas dari parlemen tetapi dari presiden. Catatan ini dipandang sebagai penguatan bagi KPK bagi beberapa kalangan tetapi saya sendiri ragu dengan catatan ini.

Oke, kita optimis bahwa hal tersebut akan menguatkan KPK lagi pula Jokowi yang dinilai sebagai sosok pembenci korupsi akan memilih dewan pengawas yang benar-benar profesional dalam mengerjakan tugas.

"Dewan pengawas (KPK) ini diambil dari tokoh masyarakat, akademisi atau pegiat antikorupsi. Bukan politisi, bukan birokrat atau (bukan) aparat penegak hukum aktif," kata Jokowi.

Sebenarnya tidak masalah dengan ini jika kita masih percaya Jokowi memberantas korupsi dan selagi Jokowi masih memimpin, fungsi KPK masih aman tetapi akan berakibat buruk pada jangka panjang.

Yakinkah kita bahwa kita akan selalu memiliki Presiden yang memiliki misi pemberantasan korupsi? Yakinkah kita tokoh masyarakat yang akan menjadi dewan pengawas benar-benar bukan politisi? Yakinkah kita akademisi yang akan menjadi dewan pengawas benar-benar bukan politisi? Ataukah para pegiat antikorupsi benar-benar bukan politisi?

Ataukah mereka juga merupakan politisi terselubung yang tidak akan memberikan kebebasan pengeledahan koruptor oleh KPK? Ya, karena fungsi dewan pengawas sangat penting dalam peran KPK. KPK yang bekerja sedemikian rupa pun tidak akan berarti apa-apa jika tidak memiliki wewenang untuk melakukan penggeledahan sebelum mendapatkan izin.

Meski demikian, revisi UU KPK telah disahkan menjadi Undang-undang. Kita menunggu akibatnya, apakah indeks korupsi Indonesia akan naik atau akan berjalan ditempat ataukah mungkin akan turun? Itulah yang kita nantikan.

Namun hal menarik yang perlu saya soroti dalam tulisan ini adalah kejanggalan-kejanggalan dalam revisi UU KPK seperti Pimpinan KPK tak dilibatkan, revisi UU KPK yang tidak masuk dalam Prolegnas 2019 'diprioritaskan' dari pada yang masuk dalam Prolegnas 2019, Tiba-tiba Diputuskan di Paripurna 70-an anggota DPR, diusahakan DPR meski ditolak publik berkali-kali dan tindakan DPR yang gegabah.

Kejanggalan-kejanggalan tersebut perlu dipertanyakan oleh publik. Semua kejanggalan tersebut bukan rahasia lagi bagi kita. Salah satu kejanggalan yang saya soroti adalah DPR yang bertindak gegabah karena harus mendapatkan pengakuan dari masyarakat dalam penghujung masa kerjanya malah tidak memperhatikan hal-hal penting yang akhirnya mengecewakan publik. Ini adalah salah satu motifnya, bisa saja ada motif lain dibalik terburu-burunya DPR dalam pengesahan RUU KPK.

Baca: Air di batang leher DPR

Gegabahnya DPR akhirnya membuat pemerintah ikut gegabah. Fahri Hamzah dalam komentarnya di ILC, mengatakan bahwa jika Indonesia terdengar terus-menerus melakukan OTT akan sulit bagi Indonesia untuk mendatangkan investor asing. Inilah yang disampaikan oleh Fahri Hamzah kepada presiden Jokowi.

Jokowi gegabah, keputusannya menyetujui revisi UU KPK datang dari pendapatnya semata tanpa koordinasi dengan Menteri Hukum dan HAM.

Yasonna Laoly berpendapat lain mengenai latar belakang dewan pengawas KPK dimana tidak sesuai dengan yang diungkapkan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, dewan pengawas bisa berasal dari aparat penegak hukum.

"Itu nanti presiden akan membuat lebih lanjut (kriteria anggota dewan pengawas). Bisa dari tokoh-tokoh masyarakat, akademisi, aparat penegak hukum yang pas," ujar Yasonna.

Oke, pembentukan dewan pengawas adalah hak mutlak presiden yang tidak akan sama seperti pendapat menteri Hukum dan HAM. Akan tetapi, hal tersebut menunjukkan bahwa Menteri Hukum dan HAM sendiri mendukung revisi UU KPK tanpa catatan. Ini adalah tindakan gegabah.

Menteri Hukum dan HAM lupa bahwa penegak hukum saja bisa korupsi. Saya pun menduga bahwa aturan pengangkatan dewan pengawas oleh presiden tidak dituangkan dalam UU KPK yang baru tersebut.

Ya, karena Menteri Hukum dan HAM yang membacakan seluruh hasil revisi UU KPK pada saat pengesahan tidak sependapat dengan presiden. Ini adalah kejanggalan yang patut dipertanyakan.

Jika kemudian aturan tersebut tidak ada, jangan heran jika suatu saat pengangkatan dewan pengawas oleh presiden pun menuai pro-kontra.

Salam!!!

Referensi: Satu; Dua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun