Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pembatalan CPNS Dokter Romi oleh Bupati Solok Selatan adalah Sebuah Ambigu

31 Juli 2019   05:34 Diperbarui: 31 Juli 2019   06:08 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
drg. Romi Syofpa Ismael-DOK. LBH Padang

"Saya rela tinggal jauh dari kampung halaman dan bekerja di daerah terpencil dan tertinggal. Ini demi pengabdian saya,"

Demikianlah pengakuan drg. Romi Syofpa Ismael tentang pengabdiannya di Puskesmas Talunan, Kecamatan Sangir Balai Janggo, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat.

Ia mengabdi sejak tahun 2015 sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT). Bahkan pada tahun 2016 ketika ia melahirkan, Romi mengalami masalah di tungkai kakinya yang memaksanya untuk menggunakan kursi roda.

Karena bekerja dan mengabdi secara profesional, pihak Puskesmas mempertahankannya dengan mengangkat dokter Romi sebagai Tenaga Honorer Harian Lepas pada tahun 2017 serta memberinya fasilitas berupa rumah dinas dan kursi roda.

Setiap hari ia tidak menghiraukan masalah di kakinya untuk melayani para pasien yang membutuhkan ilmu kedokterannya. Ia mengatakan bahwa setidaknya setiap hari terdapat lima pasien yang harus ia layani.

"Tiap hari saya pakai kursi roda dari rumah yang berjarak sekitar 50 meter dari puskesmas. Tiap hari itu ada sekitar 5 pasien yang saya tangani," ujarnya.

Pada tahun 2018, Pemerintah Kabupaten Solok Selatan mengadakan perekrutan CPNS. Dokter Romi pun ikut serta dalam seleksi CPNS tersebut. Secara akademik, dokter Romi memang hebat. Tak heran, ia diterima karena menempati urutan pertama dengan nilai tertinggi.

Menjadi kebahagiaan tersendiri bagi dokter Romi ketika mendengar hal tersebut. Ia pun bergegas melengkapi berkas-berkasnya termasuk surat keterangan dari dokter spesialis okupasi di dua tempat sekaligus, yaitu dari RSUP M Djamil Padang dan RSUP Arifin Ahmad Pekanbaru.

Akan tetapi, dokter Romi harus menelan pil pahit. Seorang peserta melaporkannya kepada Bupati Solok Selatan bahwa dokter Romi mengalami gangguan disabilitas sehingga Bupati Solok Selatan mencabut Surat Keputusan kelulusannya.

Kini, Dokter Romi sedang mencari keadilan dengan menulis surat yang ditembuskan ke Kemenkes, PB PDGI, Kapolri, Komnasham, Ombudsman RI, DPRD Sumbar, Gubernur Sumbar, DPRD Solok Selatan, Polres Solok Selatan dan Panselda Solok Selatan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pun turun tangan merespons polemik dokter gigi Romi. Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nyimas Aliya menilai kasus tersebut merupakan tindakan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

"Kami melihat memang kasus dokter Romi di sini ada diskriminasi. Kami memfasilitasi mendampingi upaya hukum, kami mengadvokasi pihak pemda provinsi, untuk memulihkan hak dokter Romi," ungkap Nyimas Aliah, kepada Kompas.com, di Padang, Minggu (28/7/2019).

Terlepas dari gugatan dokter Romi dan respon dari kementerian PPPA, bagi penulis, keputusan Bupati Solok adalah keputusan yang tidak tepat. Mengapa? Keputusannya tidak berdasarkan hasil dan berkas yang dikumpulkan tetapi datang dari bisikan orang lain yang tidak memiliki informasi yang jelas terkait dengan kondisi dokter Romi.

Nah, jika Bupati Solok Selatan mempertimbangkan bisa atau tidaknya Dokter Romi melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, dia seharusnya menunggu surat keterangan dokter yang telah mengatakan bahwa dokter Romi tidak mengalami masalah kesehatan.

Ya, buktinya dokter Romi tidak mengalami sedikit gangguan selama pelayanannya sebagai dokter. Kondisinya tidak pernah mengalahkan hatinya untuk menolong orang-orang yang membutuhkan ilmunya.

Bukankah negeri ini lebih membutuhkan orang-orang seperti ini? Yang memberi dirinya melayani orang lain tanpa memikirkan dirinya. Bukankah negeri ini membutuhkan dokter yang memiliki kapasitas secara akademik demi perkembangan pelayanan kesehatan yang lebih baik apalagi di kampung-kampung?

Selain itu, bagi penulis, peserta yang melaporkan dokter Romi adalah peserta yang egois dan serakah. Tidak ingin orang lain lebih dari dirinya. Tanpa mengetahui kondisi dokter Romi, ia dengan sok tahunya melaporkan dokter Romi seolah-olah dokter Romi tidak dapat melakukan apa-apa agar ia dapat menempati posisi dokter Romi. Jangan-jangan dia sendiri tidak pernah melakukan hal yang sama seperti dokter Romi.

"Hargailah perjuangan orang lain tanpa memandang status, usia, suku, agama, rasa, golongan dan apapun itu selagi ia memberi dirinya mengabdi sungguh-sungguh pada negara."

Keputusan Bupati Solok Selatan merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang. Pembatalan dokter Romi dengan alasan disabilitas secara tidak langsung ia menolak Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana pendidikan terdiri dari beberapa jenis, yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pendidikan Khusus merupakan pendidikan bagi mereka yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Kaum disabilitas sudah dilindungi secara hukum dan diberi tempat istimewa sejak mereka berada di bangku pendidikan. Memang dokter Romi baru mengalami gangguan kesehatan kaki saat menjadi dokter tetapi tindakan Bupati Solok Selatan merupakan diskriminasi secara universal kepada seluruh kaum disabilitas.

Pemerintah sudah menyediakan sekolah khusus bagi mereka dan tidak menutup kemungkinan para disabilitas lebih hebat dari mereka yang tumbuh normal secara akademik dan lain sebagainya.

Siapa yang tidak mengenal Helen Adams Keller? Seorang perempuan yang mengalami gangguan penglihatan dan pendengaran tetapi menjadi penulis hebat. Siapa yang membatalkan buku-bukunya bahwa tidak bukunya tak berarti apa-apa? Tidak ada.

Bukan hanya itu,  Achmad Zulkarnain asal Banyuwangi yang dikenal karena kegigihannya menjadi fotografer dan Angkie Yudistia yang menjadi penyandang tunarungu sejak usia 10 tahun yang kini mendirikan CEO Thisable Enterprise, perusahaan yang fokus membantu orang difabel.

Rachmita Harahap yang menjadi mayoret terbaik lomba marching band se-Jawa Barat pada waktu SMA. Saat ini, dia menjadi dosen interior di Universitas Mercubuana, dan mendirikan yayasan Sehijara (mengajarkan Bahasa isyarat, terapi wicara, dll).

Ah, Artikel ini tidak akan menjadi buku jika saya harus menyebutkan semua penyandang disabilitas yang sukses. Penulis hanya ingin berpesan, hargailah perjuangan orang lain tanpa memandang status, usia, suku, agama, rasa, golongan dan apapun itu selagi ia memberi dirinya mengabdi sungguh-sungguh pada negara.

Hentikan diskriminasi kepada siapapun dan dalam bentuk apapun karena setiap warga negara memiliki hak untuk menjadi apapun untuk melakukan apapun yang terbaik bagi negerinya karena setiap warga negara memiliki utang kepada tanah airnya. Satu-satunya cara membayarnya adalah mengabdi dengan tulus dan setia.

Salam!!!
Referensi: Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun