Saya terkejut membaca tweet dari seorang Ustad. Ustad tersebut adalah KH. Tengku Zulkarnain yang termasuk salah satu tokoh Islam yang aktif dalam MUI. Kini, ia menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan MUI.
Dalam Tweetnya, ia menceritakan sebuah skenario tentang seekor sapi yang keracunan. Sapi ini memakan rumput yang telah diberi racun oleh seseorang dan pada rumput tersebut, dituliskan sebuah peringatan bahwa "Awas Racun". Namun, sapi yang keracunan ini dihukum lagi oleh Hakim karena membebaskan orang yang meracuni rumput. Kemudian diakhir tweetnya, Ustad Tengku Zulkarnain mengatakan "Hidup Hakim Sapi".Â
"Hakim Pengadilan Memutuskan:"Krn Terdakwa Tdk Terbukti Meracun Sapi, dan Hanya Meracun Rumput di Kebunnya. Apalagi Terdakwa sdh Menuliskan Pengumuman "AWAS RACUN", maka Majelis Hakim Memutuskan:Membebaskan Terdakwa dari Segala Tuduhan dan Menghukum Almarhum Sapi
Hidup Hakim Sapi!" Demikianlah tweet dalam akun Twitter @ustadtengkuzul.
Sebelum tweet tersebut, ia pun mengunggah sebuah tweet yang memiliki makna sama tetapi dengan narasi yang sedikit berbeda.
"Satu Hari di Pengadilan Seorang Terdakwa Membela Diri,"Saya Tdk Meracun Sapi, Tapi Meracun Rumput di Kebun. Sapi yg Salah Kenapa Makan Rumput itu" Pengacara Meyakinkan Hakim Pula. Dan Klien Kami sdh Menulis Pula Pengumuman:"AWAS RACUN" di Kebunnya. Jadi Salah Sapi Kenapa Tdk Baca" tweet akun Twitter @ustadtengkuzul.
Nah, tweet tersebut tidak serta merta dikaitkan dengan sengketa Pilpres 2019 karena ini hanyalah sebuah ilustrasi atau mungkin sebuah cerita dongeng yang menarik untuk dianalisis.
Misalkan seekor sapi milik si B terlepas dari lilitan talinya atau keluar dari kandangnya dan menjadi liar. Tentunya akan mengancam tanaman dan rumput hiasan tetangga. Untuk melindunginya, pemilik tanaman memberitahukan kepada pemilik sapi untuk segera membalikkan sapi ke dalam kandangnya atau bisa saja dengan meracuni tanaman atau rumput kemudian menuliskan tanda peringatan bahwa Awas Racun.
Pemberi racun tentunya memiliki dua motivasi. Pertama, membunuh sapi karena dianggap mengancam dan yang kedua, merawat rumput atau tanamannya. Racun bisa bersifat peptisida.
Namun, penulisan "Awas Racun" menunjukkan bahwa ada rasa kasih dan perhatian dari pemilik tanaman kepada pemilik sapi. Artinya bahwa ia tidak berencana membunuh sapi tersebut.
Akan tetapi, akhirnya sapi tersebut harus mati karena keracunan. Siapa yang disalahkan. Jika konteksnya perencanaan pembunuhan maka pemilik tanaman disalahkan tetapi jika konteksnya merawat tanaman maka pemilik ternak harus menerima kenyataan.
Sapi hanyalah seekor ternak yang tidak dapat mengontrol dirinya sendiri. Ia membutuhkan peternak untuk menggembalakannya.
Namun, tweet dari Ustad Tengku bisa dikaitkan dengan Pilpres walaupun analogi ini sedikit membingungkan dan tidak cocok dengan kasus pilpres saat ini ataukah mungkin, tergantung perspektif masing-masing orang.
Dasar dihubungkan dengan sengketa Pilpres adalah tweet yang mendukung diskualifikasi Jokowi-Ma'aruf.
"Persoalan Sengketa Pilpres 2019 Itu Sebenarnya Tidak Sulit untuk Diselesaikan. Tinggal MK Perintahkan Audit Forensik Sistem Pusat Data dan IT KPU BERES... Jika KPU dan TKN Menolak Diaudit, ya Mahkamah Konstitusi Tinggal DISKUALIFIKASI Pasangan 01. S E L E S A I" bunyi tweet akun Twitter@ustadtengkuzul.
Nah jika analogi Ustad Tengku Zulkarnain tentang sapi dikaitkan dengan Pilpres maka sebetulnya Ustad Tengku adalah seorang pendukung Prabowo-Sandi yang skeptis terhadap Mahkamah Konstitusi.
Analogi ini rupanya merujuk pada KPU dan Bawaslu sebagai pelaksana pemilu serta pihak terkait yang membuat regulasi Pemilu bahwa mereka berusaha mencuci tangan dari masalah tersebut padahal seharusnya KPU dan Bawaslu serta pihak terkait bertindak sebagai pencegah.
Analogi ini juga dapat dipandang sebagai seorang pendukung Jokowi-Ma'aruf karena analogi sapi adalah peserta pemilu. Namun, apakah analogi ini bertujuan menyinggung KPU ataukah Hakim? Penulis pun tidak tahu.
Akan tetapi, analogi tersebut memang sangat menarik untuk diikuti terlepas dari siapapun dan berapa banyak yang tersakiti karena bagaimanapun ada sisi positifnya yaitu ada upaya perbaikan sistem demokrasi.
Salam!!!
Referensi: Akun Twitter @ustadtengkuzul
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H