Sejak dulu saya "agak skeptis" dengan penegak hukum di Indonesia. Hukum yang seharusnya tidak dijual boleh dibeli oleh mereka yang berduit. Hukum yang seharusnya tidak dapat diukur dengan uang boleh disogok oleh mereka yang berada.
Akibatnya sifat asli dan citra hukum yang berpihak pada kebenaran menjadi sirna. Andaikan hukum adalah seorang manusia, ia kehilangan arah, tujuan dan profesi yang semestinya dimiliki.
Sedihnya mereka yang ingin mengembalikan hukum kepada citranya masih berbenturan dengan tembok besi. Mereka yang ingin menegakkan hukum masih saja kesulitan membongkar pola lama yang mendarah daging.
Saya teringat akan comedi menarik Abdur Arsyad, Runner Up SUCI 4 yang menyinggung hukum dengan mengibaratkan pencuri dari Timur dan Pencuri di Jakarta.
Ia mengatakan bahwa pencuri di Timur kalau dapat tangkap dipukul sampai busuk, tetapi pencuri di Jakarta masuk TV, masuk penjara yang dilengkapi dengan fasilitas mewah. Akibatnya, para pencuri di Timur ramai-ramai ke Jakarta untuk mencuri agar jika mereka ditangkap, diperlakukan sama seperti para pencuri di Jakarta; masuk TV, masuk penjara yang dilengkapi dengan fasilitas mewah.
Ketika mereka mencuri di Jakarta, mereka sangat bahagia karena ditangkap dan impian mereka untuk masuk TV pasti tercapai. Akan tetapi, malapetaka datang. Mereka dipukul sampai busuk. Akhirnya mereka sadar bahwa mereka bukan pencuri yang berijazah.
Rupanya, pencuri berijazah adalah pencuri yang mendapatkan perlakuan istimewa. Masuk TV, diwawancarai, masuk penjara dengan fasilitas lengkap dan mewah dan sebentar lagi keluar.
Publik pernah dihebohkan dengan kasus Setya Novanto, mantan ketua DPR RI yang sedang diberi label napi di Lapas Sukamiskin. Berbagai skenario diciptakan dari "papa minta saham" hingga "tabrak tiang listrik" dan "pura-pura sakit dan tidur panjang di rumah sakit".
Setya Novanto merupakan tersangka kasus korupsi e-KTP bersama Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari dan Anang Sugiana. Akibat kasus korupsi e-KTP, negara harus menanggung kerugian sebesar 2,314 T.
Akhirnya kasus ini membawa Wakil Rakyat asal NTT ini ke Jeruji Besi. Menurut penulis, 15 tahun di penjara merupakan waktu yang tepat bagi mantan ketua DPR RI ini. Mungkin bagi orang lain, itu waktu yang tidak tepat, tetapi kita harus tunduk pada hukum dan sepakat untuk durasi  yang telah ditetapkan.
Hitungan kasar durasi Setya Novanto dalam penjara sudah satu tahun lamanya. Namun, pasca sidang perdana sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi, media ramai-ramai memberitakan Setya Novanto.