Ketegangan Iran dan AS akhir-akhir ini semakin memanas. Kemungkinan perang bisa saja terjadi. Dimanakah posisi Rusia nanti?
Program pengembangan nuklir di Iran masih berkembang sampai dengan saat ini. Sejak tahun 1950 dibawah Pemerintahan Dinasti Pahlavi yang dipimpin oleh Mohammad Reza Pahlavi, Program pengembangan nuklir sudah dilakukan, dibantu oleh pemerintahan Amerika Serikat dengan tujuan untuk perdamaian.
Pada tahun 1979, Revolusi Iran ditandai dengan jatuhnya Dinasti Pahlavi dan berdirinya Republik Islam Iran berakibat pada terhentinya program pengembangan nuklir di Iran.
Sebelumnya program pengembangan senjata nuklir Iran diizinkan oleh PBB melalui Perjanjian Non-proliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty). Â Namun, setelah Revolusi Iran dan perjanjian baru pada tanggal 11 Mei 1995 di New York lebih dari 170 negara sepakat untuk melanjutkan perjanjian ini tanpa batas waktu dan tanpa syarat.
Perjanjian ini menghasilkan tiga pokok utama, yaitu non-proliferasi, perlucutan, dan hak untuk menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan kedamaian di seluruh dunia.
Non-proliferasi adalah perjanjian dan penetapan negara-negara yang diperbolehkan menggunakan dan mengembangkan senjata nuklir. Negara-negara tersebut adalah anggota tetap dewan keamanan PBB yaitu Amerika Serikat, Britania Raya, Tiongkok, Perancis dan Rusia.
Alasannya adalah kelima negara tersebut sebagai negara yang memenangkan Perang Dunia II sehingga memiliki hak veto dalam segala keputusan tentang keamanan dunia.
Berdasarkan keputusan ini, tidak diperbolehkan kepada negara manapun untuk mengembangkan senjata nuklir dengan alasan apapun. Akan tetapi, terdapat dua negara yang dicurigai oleh dewan keamanan PBB yang sedang mengembangkan nuklir secara diam-diam yaitu Iran dan Arab Saudi. Namun, Arab Saudi memilih untuk berhenti mengembangkan senjata nuklir sedangkan Iran mengembangkan senjata nuklir terus-menerus.
Iran kembali memulai usaha pengembangan senjata nuklir pada tahun 1990an. Awalnya Iran membangun proyek Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Bushehr, Iran.
Dibalik pembangunan Proyek PLTN, Iran bermitra dengan Rusia untuk mengembangkan senjata nuklir. Ambisi Iran untuk mengembalikan Iran kepada sejarah Dinasti Pahlavi yang mengembangkan nuklir ditegaskan oleh Mantan Menteri Luar Negeri Iran Kamal Kharrazi bahwa: "Iran akan mengembangkan kemampuan tenaga nuklir dan hal ini harus diakui oleh perjanjian."
Polemik ini terus berlanjut dan memanas sampai dengan tahun 2015. Kemudian negara-negara anggota tetap dewan keamanan PBB berhasil mencapai kesepakatan dengan Iran yang akan membatasi program nuklir dengan ketentuan adanya keringanan sanksi ekonomi. Kesepakatan ini akhirnya mengakhiri negosiasi yang cukup alot selama lebih dari satu dekade.
Namun, berkuasanya Trump menggantikan posisi Barack Obama menarik diri secara sepihak dan kembali memberlakukan sanksi ekonomi kepada Iran. AS memasukkan Garda Revolusi Iran ke dalam daftar kelompok teroris dan mencabut keringanan beberapa importir minyak Iran sehingga negara-negara yang sebelumnya masih membeli minyak Iran tidak bisa lagi mendapatkan pasokan minyak. Menurutnya, kesepakatan tahun 2015 tidak efektif.
Keputusan Trump menciptakan ketegangan dengan Iran karena keputusan tersebut berimbas pada jatuhnya nilai mata uang Iran ke rekor terendah, ditambah meningkatnya tingkat inflasi tahunan menjadi empat kali lipat.Â
Kemudian Iran pun memilih untuk tidak taat pada beberapa kesepakatan pada tahun 2015. Alasannya adalah untuk apa taat pada kesepakatan tersebut jika hukum ekonomi masih diberlakukan.
Lalu dimanakah posisi Rusia?
Posisi Rusia sebagai mitra Iran sejak 1990an menjadi bukti bahwa mereka ada di pihak Iran. Akan tetapi, disisi lain Rusia merupakan salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang menandatangani kesepakatan tahun 2015.
Rusia di antara dilema dan galau karena secara ekonomi, mereka mendapatkan keuntungan dari mitra pengembangan nuklir sehingga negosiasi dengan Amerika Serikat yang terjadi pada tahun 2015 merupakan salah satu negosiasi yang dipengaruhi oleh Rusia.
Setelah AS menarik diri sepihak dan memberlakukan sanksi ekonomi kepada Iran berakibat pada terganggunya mitra ekonomi dan pengembangan nuklir Iran. Kerugian Iran adalah kerugian Rusia.
Ketegangan Iran dan AS akhir-akhir ini merujuk pada peperangan setelah beberapa Kapal Perang AS dikerahkan ke Timur Tengah sebagai wanti-wanti terhadap serangan Iran kepada negara-negara sekutu AS seperti Arab Saudi.
Walaupun dalam pernyataan para petinggi dari kedua negara tersebut menyatakan ketidakinginannya untuk melakukan perang tetapi mereka siap jika salah satu dari antara mereka memulai.
Posisi Rusia jika terjadi perang
Rusia diantara dilema dan galau akan sulit membuat keputusan. Menjadi negara yang netral juga susah mengingat Rusia pernah dituduh sebagai salah satu negara yang membantu kemenangan Trump tetapi akhir-akhir ini Rusia tidak menyetujui vonis hukum AS terhadap salah warga negaranya.
Persaingan negara yang dikenal pada zaman perang dunia sebagai Negara Uni Soviet ini dengan Negara Paman Sam dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sudah dimulai sejak dulu. Persaingan ini diwarnai dengan pembentukan dua blok maut Pakta Warsawa (Blok Timur) milik Rusia dan NATO (Blok Barat) milik AS dan Uni Eropa.
Sampai saat ini, persaingan dalam dunia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi masih terus terjadi. Namun, Rusia akan dilema menentukan langkahnya.
Menurut penulis, jika terjadi perang maka Rusia ada dalam dua kemungkinan. Pertama, menjadi negara yang netral dan kedua, menjadi pembela Iran untuk membuktikan dan menguji kekuatannya dengan AS.
Salam!!!
Referensi:
Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan, Sembilan, Sepuluh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H