Pada bulan Juli 2017, saya menyelesaikan studi di Universitas Nusa Cendana Kupang kemudian saya memilih untuk mengabdi sebagai guru di salah satu SMP di Desa Mauleum, Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.
Sebagai seorang sarjana Sains Matematika, saya dipercayakan oleh kepala sekolah untuk mengajar Matematika kelas IX. Kelas yang disebut sebagai kelas persiapan ujian dan ada yang menyebutnya kelas ujian.
Ketika memulai tugas sebagai seorang guru, saya menemukan rata-rata murid kelas IX memiliki dasar pemahaman tentang matematika yang sangat lemah walaupun ada beberapa dari mereka yang kemampuannya sedikit menghibur.
Hal yang sama saya temukan di luar jam sekolah. Kebetulan saya memberikan bimbingan belajar kepada beberapa siswa SD di Desa Mauleum ini.
Lebih dari itu, banyak yang hanya diam sepanjang pelajaran dan tidak mengerti materi yang disampaikan. Pelajaran yang seharusnya mudah dipahami menjadi pelajaran yang sangat kompleks bagi mereka. Namun, ini bukan salah mereka.
Ironisnya, ada beberapa murid yang belum mahir berhitung baik itu penjumlahan, pengurangan, perkalian apalagi pembagian. Penjumlahan angka besar sudah sulit bagi mereka karena pengetahuan tentang penjumlahan bersusun pun masih minim.
Menjadi kesulitan tersendiri bagi saya sebagai seorang guru untuk meracik menu (materi) sedemikian rupa sehingga mereka dapat mengerti apa yang disampaikan. Saya teringat dengan sebuah cerita ilustrasi dalam buku Menjelajah Pembelajaran Inovatif yang ditulis oleh Dr. Suyanto, M.Pd. Ia menceritakan tentang seorang ibu yang menyiapkan Kopi dan Ubi goreng yang begitu enak. Ia mengatakan singkong diolah dan diproses sedemikian sehingga menghasilkan ubi goreng yang lezat.
Di akhir cerita, ia mengatakan bahwa jika guru tidak memiliki kemampuan mengolah, memproses, dan menghidangkan menu pembelajaran, tentu pembelajaran akan hambar, tidak lezat dan bisa jadi tidak dapat dinikmati oleh siswa. Guru harus dapat mengukur seberapa apik menu yang harus dihidangkan di hadapan siswa dalam konteks tertentu.
Mampu menghidangkan pembelajaran yang menarik dalam konteks mereka belum paham dengan baik operasi-operasi dalam bilangan bulat sangatlah sulit bagi saya sebagai seorang guru apalagi saya baru saja memulai sebagai seorang guru. Kemampuan saya ibarat burung yang baru belajar terbang, kadang harus jatuh dan sebagainya.bBahkan, sampai dengan saat ini, saya harus mengakui bahwa belum bisa menjadi guru yang baik.
Tugas dan ulang harian saya gunakan sebagai beberapa instrumen untuk mengukur kemampuan mereka. Realitanya, soal yang sangat sederhana pun belum dijawab sesuai dengan ekspektasi saya. Sekali lagi, ini bukan salah mereka.
Ada beberapa instrumen yang saya gunakan untuk mengukur tingkat pemahaman mereka dan dari 20 siswa kelas IX, saya harus mengakui bahwa ada seseorang yang IQnya memang sangat lemah. Murid ini bernama Yefri yang biasa disapa Iven.
Dia selalu menjadi keluhan teman-teman guru karena tidak mampu mencerna pelajaran dengan baik, dia selalu menjadi bahan tertawaan teman-temannya dan menjadi korban bullying. Bahkan, saya sendiri stres dengan dia, saya merasa dia dipaksa untuk sekolah.
Singkat cerita, Ujian Sekolah pun dilaksanakan. Semua murid antusias untuk menghadapi Ujian Sekolah dan Ujian Nasional yang saat ini sedang berlangsung. Rajin belajar dan sebagainya.
Berbeda dengan Iven, murid yang dianggap paling tidak bisa ini jika dibandingkan dengan teman-temannya. Ia sedikit cuek dan seolah-olah tidak akan menjalani ujian. Bahkan, semua di suruh foto untuk membuat pas foto, Yefri memilih untuk pulang. Menjengkelkan mengurus anak seperti ini tapi apa harus jengkel? Tidak.
Ujian sekolah telah dilaksanakan, Yefri pun ikut sebagai peserta ujian. Saya bayangkan, apa yang ia lakukan ketika menghadapi soal ujian yang cukup sulit bagi mereka.
Pada saat pemeriksaan lembar jawaban matematika, Yefri membuat saya terkejut, nilainya lebih tinggi dari teman-temannya yang lebih baik dari dia. Dia yang dianggap paling tidak bisa mengajarkan kepada saya bahwa murid tidak bisa dicap bodoh, murid tidak bisa dicap tidak bisa. Dia mengajarkan kepada saya bahwa semua murid itu bisa tergantung bagaimana guru meracik menu pembelajaran menarik untuk dihidangkan kepada siswa.
Yefri dipakai Tuhan sebagai seorang guru untuk mengajarkan kepada saya tentang guru yang sebenarnya. Terima kasih Yefri, You are a Teacher for me.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan salah satu kata bijak tapi saya lupa siapa yang mengatakannya.
"Tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanya guru yang tidak kreatif"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H