Legislatif merupakan sebuah badan pemerintahan yang memiliki kuasa untuk membuat hukum. Di beberapa negara, Legislatif dikenal sebagai Parlemen, Kongres dan Asembli Nasional. Misalnya di Australia, Legislatif adalah Parlement (Parliament) yang terdiri dari  DPR ( House of Representatives) dan Senat (Senate).Â
Di Brazil, di kenal sebagai Kongres Nasional yang terdiri dari Deputi Dewan dan Senat Liberal. Di Afghanistan, di kenal sebagai Asembli Nasional yang terdiri dari Dewan Rakyat dan Dewan Sesepuh. Sedangkan di Indonesia di kenal sebagai MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang terdiri dari DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
MPR adalah salah satu lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah Amandemen UUD1945. MPR merupakan praktik pemerintahan bikameral atau dua kamar yaitu gabungan DPD dan DPR.Â
Hal yang sama di Australia, Brazil dan Afghanistan yang mempraktekkan sistem pemerintahan bikameral ini. Sedangkan contoh negara yang tidak mempraktekkan sistem pemerintahan bikameral adalah Timor Leste dan beberapa negara lainnya.
MPR memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
Melantik Presiden dan Wakil Presiden Hasil Pemilu
Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden
Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Di level Provinsi dan Kabupaten, terdapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bertugas dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintah provinsi dan kabupaten.
MPR (DPD dan DPR), DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dipilih melalui pemilihan umum. Â
Pemilihan umum di Indonesia telah diadakan sebanyak 12 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Tentunya pemilu merupakan sebuah pesta demokrasi yang harus dilaksanakan dan diikuti seluruh rakyat Indonesia sebagai negara berdemokrasi. Dalam pesta demokrasi ini, tentunya diharapkan berjalan secara Luber dan Jurdil. Lebih dari itu, berjalan dengan aman, tertib dan lancar.
Tujuannya memilih mereka sebagai wakil rakyat untuk memperjuangkan segala aspirasi masyarakat. Lebih dari itu, membentuk sebuah regulasi yang mengatur kesejahteraan masyarakat.
Namun, pesta demokrasi yang dilakukan pada tanggal 17 April 2019 menjadi salah satu Pesta Demokrasi yang paling banyak dikeluhkan dibandingkan dengan Pemilu2 sebelumnya. Pesta Demokrasi yang dilaksanakan untuk memilih dua Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden serta 7.968 calon legislatif yang terdiri dari  4.774 caleg laki-laki dan 3.195 caleg perempuan .
Masalah-masalah yang menjadi keluhan masyarakat adalah sebagai berikut:
Pertama, Caleg Tidak dikenalÂ
Caleg tidak dikenal menjadi topik perbincangan di media pasca pemilu 2019 ini. Bukan hanya itu, menjadi topik diskusi dimana-mana. Realita yang ada, di TPS saya, untuk Caleg DPRD terdapat 26 surat suara yang tidak dicoblos dan puluhan suara bagi caleg yang namanya asing bagi kami. Rupanya, kebingungan yang dialami oleh masyarakat berakibat ke sana.
Saya saja ketika memilih anggota DPR RI, saya bingung mau pilih siapa? Karena saya tidak mengenal mereka. Rata-rata di TPS saya, memilih sembarangan, terserah siapa yang mereka coblos.
Dalam sebuah percakapan dengan beberapa orang tua, ada yang mengatakan bahwa saya tutup mata baru coblos yang penting kami menjalankan tugas sebagai masyarakat. Hal yang menarik bahwa antusiasme masyarakat untuk tidak menjadi golput adalah hal yang perlu untuk disyukuri. Namun, yang harus diperhatikan adalah semakin banyak suara yang tidak sah lebih baik golput saja.
Kedua, Hanya Nama Caleg yang dicantumkan
Ini merupakan masalah menarik yang perlu dibahas bersama. Angka buta huruf di desa-desa masih terbilang tinggi yang didominasi oleh para orang tua angkatan 50an-60an sehingga mereka kesulitan untuk menentukan pilihan tanpa foto. Ada beberapa orang tua yang penglihatan matanya sudah menurun sehingga berakibat ke sana juga.
Seingat saya, pemilu tahun 2004 dan 2009 tidak sesulit ini. Di kertas surat suara, Nama Caleg dilengkapi dengan foto sehingga lebih memudahkan bagi mereka yang kesulitan melihat dan membaca.
Saya percaya bahwa, KPU dengan pertimbangan tertentu yang sangat matang membuat kertas surat suara seperti itu. Hemat saya, kertas surat suara dibuat seperti itu karena caleg dari 20 Partai yang sangat banyak sehingga jika dicantumkan dengan foto, membutuhkan kertas yang ukurannya lebih besar lagi.
Setelah saya mengamati beberapa fenomena daalm pemilu kali ini, Untuk daerah pemilihan saya, rupanya beberapa caleg yang benar-benar ingin mencalonkan diri dan ingin berjuang untuk rakyat. Misalkan terdapat 126 caleg, yang memiliki motivasi untuk ke parlemen hanya 50an orang.
Ada beberapa teman saya yang ikut calon tetapi ia tidak ada antusias untuk kampanye dan sebagainya. Setelah itu, saya tanya mengapa? Saya belum siap, karena saya diminta hanya untuk memenuhi kuota perempuan.Â
Oke, semuanya pasti demi kepentingan Partai dan mungkin untuk memenuhi aturan pencalonan. Akan tetapi, banyaknya calon yang hanya sebagai pelengkap malah menyulitkan pemilih. Untuk apa? Calon kalau hanya sekedar nama tercantum atau memenuhi kuota dan menaati aturan.
Dua hal ini berakibat pada meningkatknya surat suara tidak sah di beberapa TPS yang didominasi oleh orang tua yang memiliki SDM yang rendah.
Dua hal di atas hanyalah pendapat yang saya tuangkan melalui tulisan ini. Akan lebih lengkap jika pembaca memberi komentar yang baik untuk didiskusikan sehingga kalau dapat, bermanfaat bagi Pemilu-pemilu yang akan datang.
Salam!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H