Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Malu-malu, Perilaku Bermasalah bagi Guru di Desa

24 Maret 2019   13:10 Diperbarui: 24 Maret 2019   20:17 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malu-malu adalah wajar selagi tidak merugikan diri sendiri atau orang lain tetapi bermasalah jika merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Perilaku anak yang bermasalah selalu jadi masalah bagi orang tua di rumah dan guru di sekolah. Namun, Merupakan tanggung jawab orang tua atau guru sebagai konselor untuk menolong anak tersebut meninggalkan perilaku yang dianggap bermasalah. 

Beragam perilaku anak tidak dapat ditangani dengan metode yang sama. Setiap perilaku ditangani dengan metode yang kira-kira dapat menolong anak meninggalkan perilaku tersebut dengan mengenal karakter anak. Itu yang terus dilakukan oleh orang tua maupun guru. Akan tetapi, orang tua atau guru harus mengakui bahwa terkadang mereka kewalahan dalam menangani perilaku anak jika tidak ada perubahan yang sesuai dengan ekspektasi guru.

Salah satu perilaku yang bermasalah bagi guru di sekolah adalah murid yang malu-malu. Di beberapa sekolah termasuk sekolah tempat saya mengajar, malu-malu begitu akrab dengan anak-anak terlebih anak-anak perempuan. Anak laki-laki masih di bilang sedikit yang dapat dihitung dengan jari sedangkan anak perempuan dikatakan rata-rata memiliki perilaku ini.

Namun, keadaan ini yang dialami saya sendiri sebagai guru laki-laki. Berbeda dengan apa yang dialami guru perempuan. Malu-malu hanya terjadi pada awal perkenalan selanjutnya tidak ada lagi. Malu-malu ini juga terjadi ketika melihat orang baru, melakukan hal-hal baru dan menghadapi orang yang dianggap tidak ada dalam level mereka.

Saya sudah hampir 7 bulan bingung dan bertanya-tanya mengapa mereka seperti ini.
Saya sering kali bertemu dengan mereka di jalan. Yang mereka lakukan adalah menghentikan perjalanan atau berjalan melalui pinggir jalan sambil menutup muka. Bahkan, ada yang lari menghindar atau bersembunyi dari pandangan.

Di sekolah, menyuruh mereka melakukan hal baru yang tidak wajib, mereka memilih untuk tidak melakukannya daripada harus menanggung malu karena mereka menganggap hal itu tidak biasa bagi mereka. Hal yang seharusnya tidak perlu mereka lakoni.
Mereka akan melakukannya jika itu adalah kewajiban.

Oke, malu-malu tidak masalah jika itu tidak merugikan diri sendiri atau orang lain. Akan tetapi, kebanyakan dampaknya adalah minimnya komunikasi/sosialisasi dengan guru dan tidak ada partisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan di sekolah. Akibatnya, anak-anak kurang berpengalaman, tidak memiliki mental yang baik. Secara tidak langsung, perilaku ini merugikan diri mereka sendiri.

Lalu masalahnya bagi guru apa? Masalahnya adalah tidak ada seorang guru yang menghendaki siswanya menjadi orang bodoh yang tidak berpengalaman. Ia ingin siswanya memiliki mental yang bagus dan menjadi siswa yang hebat. Jadi jika siswa terus memupuk budaya malu, ini menjadi masalah bagi guru.

Sejujurnya, saya sendiri kesulitan dalam menghadapi anak-anak seperti ini. Sehingga saya tertarik untuk melihat penyebab utama anak malu-malu.

Pertama,Budaya merupakan salah satu kebiasaan yang terus dipupuk dalam masyarakat. Malu-malu sesuai dengan penjelasan saya tadi, memang wajar jika tidak merugikan diri sendiri atau orang lain. Dalam budaya Timor-Amanuban, malu-malu ini sering terjadi kemudian berkembang menjadi budaya. Salah satunya adalah budaya makan. Karena malu, maka makan saja perlu bujukan atau rayuan maut.

Kedua, Pendidikan Keluarga juga berpengaruh terhadap perilaku anak-anak. Saya bertemu dengan salah satu orang tua yang budaya malunya sangat tinggi. Sepanjang pembicaraan kami, kontak mata hanya 20% sedangkan lainnya tunduk dan menutup-nutupi mulutnya.
Akibatnya, anak-anaknya di sekolah pun demikian.
Kebanyakan didikan orang tua untuk anak perempuan untuk hati-hati terhadap laki-laki malah berakibat pada komunikasi guru laki-laki dengan siswa perempuan.

Ketiga, Latar belakang dan kondisi. Pertama kali saya bertemu dengan mereka. Kebanyakan beranggapan bahwa kehidupan mereka jauh berbeda dari saya dan merasa terhina sehingga tidak ada kepercayaan diri. Kebanyakan kehidupan di desa yang biasa-biasa saja yang kurang bersih membuat mereka tidak percaya diri. Ketidakpercayaandiri inilah yang membuat mereka cenderung malu. Kebanyakan hal ini terjadi di rumah dan di lingkungan masyarakat.

Anak-anak tumbuh dalam budaya, kondisi dan didikan seperti ini sehingga perlu kerja keras dari guru untuk menangani ini karena harus ada evaluasi bagi guru apakah pendekatan dari guru yang justru menciptakan anak-anak malu. Saya sangat kesulitan dalam menghadapi ini sehingga saya mencoba berkunjung ke rumah mereka dengan tujuan akrab dengan orang tua agar orang tua pun turut berperan dalam penanganan masalah ini.

Jangan Lupa Tinggalkan Komentar anda jika menemui masalah yang sama atau punya solusi dalam penanganan masalah ini.
Komentar anda membantu saya dan pembaca.

Salam!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun