Punya pekerjaan dan hidup mapan merupakan keinginan setiap mahasiswa setelah lulus kuliah. Keinginan ini bukan untuk suatu kepuasan semata tetapi sebagai bentuk balas budi kepada pengorbanan orang tua dan keluarga pada umumnya yang berperan sebagai sutradara dalam menyelesaikan studi dan memperoleh sebuah gelar.
Hal di atas menjadi alasan setiap orang untuk menuntut biaya hidup jika pada akhirnya mengabdi atau bekerja pada sebuah instansi. Oleh karena itu, semua yang dikerjakan berorientasi pada uang (biaya hidup) atau yang biasa dikenal dengan istilah Orang Kupang "Kalo ada doi beta karja".
Tentunya mengabdi pada sebuah instansi, itulah yang seseorang tuntut sebagai hak walaupun kewajiban yang dilaksanakan tak sebanding dengan tuntutan haknya apalagi seseorang dengan setia dan bertanggung jawab melakukan segala tugas dan tanggung jawabnya. Namun, bagaimana jika kita mengabdi tanpa di bayar satu rupiah pun?
Ada seorang gadis bernama Empriani Magi asal Desa Kalada, Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Setelah menghabiskan masa studinya di Jurusan Kimia, FST-Universitas Nusa Cendana (UNDANA), ia memilih kembali ke kampung halamannya karena ia merasakan ketertinggalan dan keterbelakangan yang sesungguhnya ketika ia mengenyam pendidikan di Undana.
Ia merasa berbeda dengan anak-anak yang hidup di kota dimana mereka lebih berwawasan dan lebih hebat secara akademis. Hal ini tidak membuat dia putus asa. Ia terus berjuang dan bangkit menyelesaikan studinya tepat waktu. Hal ini menjadi alasan ia bertekat  harus menghentikan rentetan kebodohan dan ketertinggalan di NTT, secara khusus di tempat kelahirannya Kalada-SBD.
Pada mulanya perempuan yang akrab disapa Empri ini, mulai mengajar adiknya sendiri karena bagi dia "Mengajar adalah Belajar". Hal ini juga merupakan motivasinya untuk terus membagi ilmunya kepada orang lain secara gratis (tanpa biaya).
Hari demi hari semakin banyak anak-anak yang datang untuk belajar sehingga ia memutuskan mendirikan Taman Baca Masyarakat (TBM) dan Kelompok Belajar di rumahnya sendiri yang sekarang dikenal dengan nama TBM & Kelompok Belajar Dyatame. Tak terasa sampai saat ini terdapat 140 anak-anak berasal dari enam desa yang terletak di dua kecamatan datang untuk belajar.
Hal ini membuktikan bahwa keinginan untuk belajar anak-anak di NTT sangat tinggi tetapi fasilitas (sarana dan prasarana) dan fasilitator (pendidik) yang sangat kurang bahkan dikatakan tidak ada. Hal ini berkontradiksi dengan tingkat pengangguran semakin meningkat, dan lulusan keguruan semakin banyak di perkantoran.
Empri terus tekun mengajar mereka dengan ramah mulai dari pendidikan karakter sampai dengan berbagai bidang ilmu dengan jadwal yang teratur. Hari senin pukul 17.00-19.00 WITA untuk siswa/i SMP dan SMA, hari selasa waktu yang sama untuk siswa/i SD dan hari rabu waktu yang sama pula untuk semua siswa (kelas gabungan).
Namun, tentu yang dilakukannya tidak luput dari tantangan. Banyak masalah yang harus dihadapi. Banyak pihak yang menilai ini sebagai sebuah modus untuk mencari sensasi sebagai bentuk pamer ilmu dan lain sebagainya. Selain itu, fasilitas yang terbatas dimana tanpa meja belajar dan kursi bahkan gedung pun sampai saat ini belum ada menjadi tantangan Empri untuk terus berjuang menarik minat dan semangat anak-anak untuk terus belajar.