Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah link berita di Facebook mengenai perbedaan pendapat antara salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, dan Wakil Bupati DKI Jakarta yang sering kita kenal dengan Ahok. Perbedaan pendapat tersebut mengenai ide dibangunnya lokalisasi prostitusi di Jakarta. Sebagai salah satu ormas Islam, terang Muhammadiyah menolak ide tersebut. Menurut Muhammadiyah prostitusi sebaiknya diberantas ke akar bukan dikembangkan. Atas dasar perbedaan inilah maka dari kemarin media massa gencar memberitakan saling serang antara Ahok dan Muhammadiyah.
Saya tidak akan menyoroti alasan kedua belah pihak tetap bertahan dengan pendapatnya masing-masing. Saya pribadi, apapun keyakinan, suku atau ras saya, tetap dengan tegas akan menolak prostitusi, namun yang akan saya soroti disini adalah bagaimana salah satu personil Muhammadiyah dan Ahok saling beradu pendapat. Sejujurnya saya kecewa sekali dengan kedua belah pihak, baik Ahok maupun personil Muhammadiyah, karena menurut saya mereka “mengabaikan” kesantunan dalam berpendapat.
Dalam salah satu artikel berita yang saya membaca salah satu pernyataan personil Muhammadiyah, yang kurang lebih isinya begini ““Dikerahkan pencegahannya, operasi terus menerus dilakukan. Ahok wajar saja, maaf ya, orang Tionghoa kan biasa saja, budaya Cina seolah hal biasa itu dilokalisasi” (selengkapnya baca disini). Saya merasa pernyataan beliau adalah pernyataan yang mengandung unsur rasisme. Akan lebih baik jika alasan dan niat baik beliau dinyatakan dalam pendapat yang lebih jelas dan logis, tidak hanya semata-mata berdasarkan ras. Beberapa minggu kemudian saya membaca artikel yang berjudul “Ahok Tuduh Muhammadiyah Munafik, Soal Prostitusi”, dalam artikel tersebut terlihat pernyataan balasan dari Ahok yang mengatakan Muhammadiyah munafik. Saya kembali kecewa dengan pernyataan Ahok yang menurut saya sama kasarnya. Akhirnya bukan diskusi dan musyawarah yang didapat, melainkan saling serang dan saling hina. Saya melihat kasus ini sebagai perang mulut antara Ahok dan Muhammadiyah, siapa yang bisa berkata paling kasar dia yang menang. Sebagai publik figur sudah seharusnya mereka lebih berhati-hati dalam berpendapat karena pernyataan mereka menjadi sorotan banyak pihak, sayang sekali, bagi saya pribadi, niat baik kedua belah pihak menjadi tertutupi dengan pernyataan yang membuat saya risih.
Kebebasan berpendapat adalah hak semua orang, tetapi kesantunan berpendapat juga menjadi kewajiban semua orang. Diskusi dan musyawarah, sebagaimana dasar dari negara ini, tidak akan pernah tercipta selama orang-orang belum mau menjalankan kewajibannya tetapi hanya ingin mendapat haknya. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, tetapi bukan berarti hal itu melegalkan kita untuk seenaknya berbicara, seenaknya berpendapat tanpa memikirkan pendapat dan perasaan orang lain. Jangan sampai “kesantunan” yang terabaikan akan menjadi bumerang bagi kita sendiri di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H