Mohon tunggu...
Nenk Mawar
Nenk Mawar Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Saya hanyalah penulis receh yang tengah berperang dengan pena dan menggoreskan kata-kata

Hidup hanya sekali, buatlah hidupmu berwarna. Jangan engkau menyia-nyiakannya tetap semangat apapun keadaannya keep fighthing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Alam Gaib

18 Agustus 2020   18:07 Diperbarui: 18 Agustus 2020   18:08 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mobil yang di kendarai, Robi, Nisa, dan Susan kini melosok ke daerah yang tak mereka kenali. Sebelumnya mereka melewati lapangan sepak bola, dan Robi masih terus mengendari hingga akhirnya tersesat dalam lingkungan yang dipenuhi pepohonan tinggi dan jalanan pun tak bersahabat dengan mobil.


Mereka bertiga kebinggung, namun tidak dengan sang supir, Robi. Ia terus mengendarai padahal sahabatnya, Nisa berulang kali memberi tahu agar tidak memasuki kawasan itu. Tapi, Robi memaksa, bahwa jalan yang  dilalui itu adalah benar menuju rumah Irwan.

Hari pun semakin sore, matahari kini perlahan dilahap oleh pepohonan yang tinggi besar dan hanya ada sedikit cahaya dari lampu mobil yang mereka tumpangi. Seketika Susan dan Robi pun terpekik, begitu pun dengan Nisa.

"Ya Allah, Ya Rabbi ...."

Suara Nisa dengan gemetar melantunkan ayat suci Al-Quraan, di depan mobil Robi ada seorang wanita yang berlumuran darah. Namun mereka tak bisa melihat wajahnya, Susan yang duduk di depan bersama Robi meminta teman agar cepat mengendarai mobilnya karena wanita di depan tadi sudah menghilang.

"Kan sudah aku bilang, jangan lewat jalan ini. Kenapa kamu nggak percaya banget sih Rob." Susan masih terus ngomel, tapi Robi tak menggubrisnya. Maksud hati agar cepat sampai rumah Irwan di Subang, namun ternyata mereka tersesat.

Padahal Robi sudah terbiasa pulang pergi Jakarta-Subang, namun kali ini ia tersesat dan benar-benar dia tidak tahu jalan yang sekarang dilalui. Nisa di belakang tak henti-henti membaca ayat suci, "Rob kenapa sih dengan kamu? Kenapa nggak dengar kata kita ... kalau kaya gini, kapan kita bisa sampai?"

Mobil yang dikendarai Robi berhenti karena semua teman-teman perempuannya protes dengan pilihannya, "Bisa nggak kalian berdua jangan banyak bicara, sekarang kita cari jalan keluar dari tempat ini. Kita sudah berjam-jam di tempat ini ...."

Tiba-tiba dari kaca belakang mobil ada sesorang mengetuk, ketika kita bertiga menengik kebelakang dan ternyata seorang kakek yang sudah berumur ia membawa sebuah cangkul dan akhirnya Robi membuka kaca mobilnya.

"Maaf ada apa ya, Kek?" tanya Robi sedikit bingung.

"Kalian sedang apa di sini?"

Nisa pun menyela, "Maaf Kek, kami tersesat dan kami dari tadi berputar-putar di tempat ini."

"Benar, Kek. Kami sudah empat jam berputar di tempat ini, mungkin Kakek tahu menuju jalan raya?" tanya Susan menyela Nisa.

"Cepat segera kaliam keluar dari tempat ini, terus jalan lurus meskipun banyak arah jalan. Jangan pernah membelokkan mobil kalian ...."

Ketika mereka ingin mengucap terima kasih tiba-tiba mereka melihat sesuatu di samping kaca dekat tempat duduk Nisa, dia pun terpekik dan Robi segera menjalankan mobilnya. Namun, sekali lagi Robi membelokkan mobil.

"Hey, Rob. Apa-apaan sih kamu, jalan belok. Jalan lurus saja. Pea!" bentak Susan geram melihat tingkah kawan lelakinya yang tidak mendengar kata-kata kakek tadi.

"Kalian mau percaya kakek tadi? Please deh. Eh, tuh ada warung deh kayanya. Aku lapar, ayok kita turun?"

Mereka berdua pun pasrah dan turun dari mobil karena dilihat benar warumg kopi sederhana ditengah-tengah jalan yang sepi dari hiruk-pikuk kota. Susan dan Nisa terlihat begitu canggung ketika memasuki warung yang kecil itu, sedangkan Robi sangat santai sesekali ia bertanya pada orang yang tengah sibuk dengan kopinya.

"Oya Bu, kalau boleh tahu arah jalan ke sana itu menuju ke mana, ya?" Robi bertanya sedikit canggung.

"Kalau ke sana itu tidak ada jalan, perkuburan ...."

Mendengar perkataan yang punya warung, Nisa dan Susan pun memanggil Robi untuk keluar dari tempat itu dan mereka bertiga mulai bertentangan. Robi begitu kekeh jika ke arah sana pasti ada jalan, namun dipandangan Nisa tak lebih jalan yang gelap dan sunyi. Ketika Robi, Nisa, dan Susan tengah bertentangan mereka bertiga menengok kebelakang.

Warung kopi itu menghilang, dan ketika mereka ingin lari ke mobil. Ternyata mobil mereka pun ikut menghilang, kini Robi, Nisa, dan Susan dikelilingi sebuah kuburan, pepohonan yang besar hingga tak terlihat bintang di langit; gelap-gulita. Ketika Susan dan Nisa ingin berlari, di depan terlihat mahluk besar yang berbulu lebat. Robi menghilang begiti saja ketika Nisa ingin menarik tanganya, dan yang dia tarik bukanlah tangan Robi. Melainkan tangan kuntilanak.

Kring!!!!

Jam di samping tempat tidur Nisa berbunyi, membuat dia pun terbangun terengah-engah.

"Ahhhhh .... Astaghfirullahaladzim, ternyata aku mimpi."

Oh. Itu hanyalah mimpi, akhirnya Nisa pun bangun dan berwuduh. Dia termenung bagaimana bisa mimpi seburuk itu, dan ia pun berjanji tidak akan mau jika diajak oleh Robi sahabatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun