Oleh: Rosidah binti Musa
Aku berlari menelusuri jalan setapak, semakin dekat dengan suara tangisan itu. Ketikaku sampai di sana, tak terlihat siapa pun, hanya sebuah boneka yang tergeletak di depan pintu masuk apartemenku.
Perlahan kakiku mendekati boneka beruang yang berwarna putih, tanganku bergetar. Sungguh ketika menyentuh boneka itu, aku merasakan kepedihan yang mendalam. Tapi aku tidak tahu kenapa, batinku seperti tersayat-sayat dengan kisah pilu.
"Din. Dinda ... bangun, Din ...."
Aku terperanjat, di depanku ada Nayla yang melihatku keheranan. Kuraba pipiku basah dan Nayla hanya mengangkat bahu.
"Malam ini kamu mengigau lagi, Din."
"Hah?"
Sebegitu seringnyakah, tapi aku tidak ingat. Hanya saja aku menangis di depan pintu apartemen dan memeluk sebuah boneka beruang.
"Kamu tahu, hampir dua minggu ini kamu ngigau dan nangis sampai kaya orang mau ditinggal pacar gitu ...."
Aku hanya tersenyum kecil, jam di dinding menunjukkan pukul dua. Kasian Nayla selalu terganggu olehku, namun dia tak pernah berkata kesal atau pun muak dengan tingkahku. Aku sangat takut di kegelapan, dan aku pun takut pada gudang.
Entah kenapa, setiap ke gudang selalu saja ditemani Nayla untuk membantuku. Begitupun ketika tidur, lampu kamar selalu menyala dan dia Nayla tak pernah protes akan semua itu. Aku sangat beruntung mempunyai sahabat sepertinya.