"Semoga."
*****
Aku tak mengikuti saran yang diberikan oleh Sri, dan diam-diam mendaftarkan diri di Universitas Terbuka atau biasa disebut UT. Ya, aku paham, mungkin jika dia tahu aku mendaftarkan diam-diam akan memarahiku atau entahlah. Kuharap dia memahami apa yang menjadi cita-citaku, dan suamiku kemungkinan akan sedikit rumit atau bahkan susah untuk mendapatkan restu darinya. Namun aku tahu dalam segala hal kebaikkan pasti akan ada jalan keluarnya dan Allah tidak akan menyusahkan hamba-Nya yang ingin menuntut ilmu.
Panas terik mata hari begitu sangat merongrong di atas kepala, dengan lihainya tanganku menekan nama dalam urutan kontak ponselku. Dengan hati yang bergetar, sungguh sebenarnya aku takut jika diharuskan jujur padanya. Namun aku butuh doa restu darinya, suamiku Slamet. Sebenarnya dia adalah lelaki yang sangat bertanggung jawab, bahkan dia sangat perhatian padaku dan putraku Bilal.
"Assalamualaikum, Mas?"
"Waalaikumsalam."
Suaranya terdengar keheranan, mungkin ia bertanya-tanya mengapa aku menghubunginya. Karena biasanya aku sangat sibuk, bahkan tak ada waktu untuk sekedar bermanja padanya. Entahlah, apakah aku istri yang baik baginya atau, aku tidak tahu isi hatinya.
"Ada apa, Dik? Tumben telepon, mas?"
"Begini, Mas ...."
 Suaraku sedikit bergetar, menahan rasa takut yang tak mampu disembunyikan lagi. Kubuang napasku dengan rasa kesal dan sedikil pasrah apa yang akan di dengar nanti.
"Kenapa toh, Dik? Kok malah diam begitu, sayang pulsane."