Begitu banyak impian yang ingin aku capai, bahkan bukan saja membahagiakan keluargaku saja. Tapi, aku pun ingin membangun sebuah pendidikkan di kampung halamku. Meskipun aku tahu, itu semua tak akan mungkin terjadi.
Keluargaku sendiri memang sangat membutuhkanku, begitu pula anakku yang berbeda dengan anak-anak sebayanya. Keinginan hanyalah sebuah hayalan, namun aku mempunyai niat. Setidaknya aku harus bisa meneruskan kuliahku, dengan begitu ilmu yang aku dapat bisa dibagikan.
"Jangan memaksakan diri, Ratih. Jika memang tidak bisa, anak dan keluargamu membutuhkan biaya," saran Sri teman seperjuanganku."Mending, kau kirim saja uang itu untuk perobatan anakmu. Dari pada uangmu, dihambur-hambur buat sekolah lagi. Toh, umurmu sudah tidak muda lagi."
Aku tidak bisa melawan kata-katanya, walaupun dia tak memberi semangat untukku. Tapi dia teman baikku, meskipun pada akhirnya aku lebih memilih jalanku sendiri. Ia pasti memberi dukungan.
"Tak pikir-pikir dululah."
Benar memang katanya, umurku sudah tak lagi muda. Bahkan mungkin semangatku kurang bergairah seperti anak-anak muda yang berada di sampingku, cekikikan sambil menikmati semangkuk bakso. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin. Jika aku benar-benar dalam menjalaninya, pasti anak muda pun kalah dengan semangatku. Aku tersenyum melirik anak-anak itu.
"Dirimu ini sudah cape kerja, masa mau ditambah beban untuk memikirkan pelajaran. Apa yo ndak mumet, Rat?"
"Yo mbuh, tapi yo nek kita niat pasti iso toh Sri?"
Sri menatapku lekat cukup lama, lalu perlahan ia menghembuskan napas yang sedikit kesal. Namun aku tahu, kekesalannya tak akan lama. Mungkin ia sedikit syok dengan pertanyaanku tadi.
"Bagaimana dengan suamimu?"
"Entah. Semoga saja dia mendukungku."