Mohon tunggu...
Nenk Mawar
Nenk Mawar Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Saya hanyalah penulis receh yang tengah berperang dengan pena dan menggoreskan kata-kata

Hidup hanya sekali, buatlah hidupmu berwarna. Jangan engkau menyia-nyiakannya tetap semangat apapun keadaannya keep fighthing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Risalah Hati

13 Juni 2020   20:38 Diperbarui: 13 Juni 2020   20:36 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syarifahnor on Pinterest

Oleh : Rosidah Binti Musa

Hampir setiap pagi aku melihatnya duduk di depan surau pesantren, tekadang mata ini berpapasan dengannya. Namun ia dengan secepatnya, memalingkan wajah dan menenggelamkan dalam selarik kain yang melingkar di lehernya.


Ada rasanya ingin menyapa, namun dia tak pernah memberi kesempatan untukku sekedar menyapa. Dia belalu bahkan tanpa menoleh ke arahku, sungguh tingkahnya membuat diriku semakin penasaran dan ... mungkin aku menyukainya. Seharusnya tak boleh seperti ini, bahkan sangat memalukan bila abah tahu apa yang tengah aku, lakukan sekang.

Sebuah perasaan yang tak mampu diungkapkan, namun hanya dipendam. Sungguh setan sangat pandai menjerumuskan hamba-hamba Allah yang tengah ditimang oleh cinta, mataku tak dapat berpinda bila melihatnya apalagi mendengar suara merdu yang melantunkan ayat-ayat Allah. Sangat berbeda dengan yang lain, siapa pun yang mendengar hatinya pasti bergetar.

                                      ****
Setiap pagi dia selalu mengisi tausyiah bersama putra-putri di surau, tapi aku tak bisa bergabung untuk mendengarkannya. Karena aku pun punya tugas mengajar anak-anak di pesantren juga, namun terkadang diam-diam aku mendengarkam dan menatap wajahnya yang teduh.

"Wahai anakku sedang apa kau di sini?"

Terperanjat bukan main, ketika abah menyapa dan membuyarkan semua lamunanku tentangnya. Tak ingin melihat wajah abah, karena malu sekaligus takut.

"Maaf aku masuk dulu, Bah."

Mudah-mudahan abah tak melihat apa yang tengah aku perhatikan, sungguh sangat takut sekali bila abah tahu. Apa jadinya bila anak seorang kyai, mencuri-curi pandang pada orang yang bukan mahramnya.

"Kenapa, makanan itu hanya dipandangi?" tegur ummi mengejutkanku.

Aku terkerjap dengan teguran ummi, tadi abah dan sekarang ummi. Sungguh tak mampuku sembunyikan lagi, mungkin ada baiknya bila aku mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.

"Ada apa, Mi?" tanya abah tiba-tiba.

"Enggak apa-apa, Bah. Cuma tadi ummi lihat anak kita itu melamun, gak biasanya."

"Apaan si Mi, orang gak ngelamun," bantahku.

Abah hanya tersenyum lembut menatapku, dan seraya beliau berkata. "Nanti malam, keruang abah bersama ummimu."

Lho ada apa abah memintaku datang bersama ummi di ruangan abah lagi, hatiku semakin tak keruan. Kuharap bukan karena keterlambatanku mengajar anak-anak hari ini.

****
Malam yang ditunggu telah tiba, hatiku semakin resah mondar-mandir dalam bilik sudah seperti kitiran. Duhai hati, berdzikirlah dan tenanglah tak akan terjadi apa-apa dengan badan yang penuh dosa ini. Serahkanlah pada Allah, biar tenang. Aku tak henti-henti menenangkan hati yang tengah bergemuru, karena kerisauan tadi pagi tak bisa membuatku tenang. Bahkan dzikirku pun terpental, tak bisa menahan rasa gemuru hatiku sendiri.

Terlihat ummi yang tengah duduk di sofa menungguku keluar kamar, dengan rasa berat aku pun berkata siap pergi bersama ummi ke tempat abah.

"Tak perlu gugup begitu, lihat tanganmu semua dingin," tegur ummi melihat wajahku yang pucat.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman, duhai ummi andai kau tahu betapa takutnya anakmu ini pasti engkau akan memelukku erat.

Langkahku terhenti ketika melihat ustad Ali berada di ruangan abah dan, sebentar ... aku mengenal siapa yang duduk di sebelah ustad Ali. Ada apa ini? Aku tak paham dengan ini semua.

"Mengapa ada ustad Ali, di sana Mi?" tanyaku pelan.

"Kita masuk dulu, biar nanti abah yang menerangkan."

Sungguh tak sanggup lagi untuk menahan ricuhnya hati yang bergemuruh menyebut asma Allah, apalagi aku harus menatapnya. Walau ia tak sedikitpun menatap atau sekedar melirik, hatiku tetap menyeruh getaran cinta yang tak dapatku sembunyikan.

"Dialah putriku Sarah, yang aku katakan pada ustad Bilal."

"Maafkan aku, Yai. Sungguh keberkahan untukku, bahkan aku merasa tidak pantas untuk bersanding dengan putri Yai."

Dengan cepat aku menyerga perkataan ustad Bilal. "Tidak! Tidak begitu ...."

Semua mata mentapku, terutama ustad Bilal yang sedari tadi memalingkan pandangannya. Ustad Ali dan abah, ummi hanya tersenyum tipis melihat tingkahku tadi. Sekarang aku merasa malu, sungguh sangat malu.

"Maafkan aku ...."

"Seharusnya aku yang minta maaf, entah bagaimana harusku jelaskan pada Yai, dan Nyai. Bukan aku menolak ajuan Yai, namun aku harus meneruskan pencarian ilmu dan dakwah ini. Pas sekali, hari ini aku harus berpamitan pada Yai dan Nyai juga ustad Ali yang sudah menemaniku selama di pesantren ini. Aku harus melanjutkan dakwahku, Yai. Terima kasih"

Ia pun berpamitan dengan abah dan ummi, orangtuaku sangat paham apa yang disampaikan oleh ustad Bilal dan abah tidak bisa menghalanginya, karena ia menyebarkan agama tauhid yang seharusnya semua anak mudah berpikiran seperti ustad Bilal.

Ya Allah sangat besar bukti cintanya pada-Mu, ia menempatkan berdakwah dan mencari ilmu dengan cinta yang teramat besar. Aku sangat salut padanya, meskipun hatiku sedikit sakit dengan penolakan halusnya. Semoga Allah selalu memberkahi perjalanannya dalam berdakwah dan pencarian ilmunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun