Di wajahnya tak nampak ada kesedihan ketika ia bersama orang-orang yang dia cintai, Nissa tahu bahwa mereka tak perlu mengerti apa yang dirasakannya sekarang atau nanti cukup hanya Allah saja yang tahu apa yang terjadi ketika ia terpuruk menangis di tengah heningnya malam, beralas sajadah ia tumpahkan semua rasa beban yang menindih hatinya. Dia hanya mampu memohon pada-Nya agar suaminya diberi kesadaran dan dirinya diberkan kesabaran, hampir setiap hari menangis di atas sajadah hingga tertidur bersama doa dan dzikir yang dilantunkan dari lisannya.
"Mas kau selalu sibuk, apakah tidak bisa makan di rumah barang sehari? Atau aku membawa makanan untukmu?" tanya Nissa memegang lembut tangan suaminya. Namun seperti biasanya, Reza menolak permintaan istrinya dengan berbagai alasan yang terkadang membuat Nissa sendiri bosan untuk mendengar bahwa ia sibuk dan tak sempat untuk makan. Perasaan seorang istri begitu dalam ketika ia merasa mulai ada sesuatu keganjian pada sang suami, tapi dia selalu menepis perasangka seperti itu karena Nissa tak mau berpikir yang tidak-tidak pada suaminya.
Bagaimana bisa, seorang wanita diharuskan untuk terus menahan apa yang telah dia lihat mata kepalanya sendiri. Sekuat apa pun untuk menghilangkan bayangan di matanya, ia tak akan mampu untuk menepis pedihnya kenyataan yang telah dia lihat. Nissa terlalu lembut dan dia selalu untuk mengambil diam atas perasaannya padahal ia boleh saja berontak bahkan protes karena itu sewajarnya dan dia pun menyaksikannya sendiri.
*****
Entah apa yang membuatnya tetap kuat dan tegar, senyum dibibirnya tersenyum ikhlas ketika menyambut sang suami yang kini sudah rapi untuk berangkat kerja. Meskipun perangi sang suami sedikit dingin terhadapnya, tapi ia mencoba untuk terus tersenyum walaupun adakalahnya dia harus menangis diam-diam disetiap malam.
"Aku berangkat."
"Biarku bantu membawa tasmu, Mas."
"Tidak peralu."
Langkah Nissa terhenti dan melihat sang suami bringsut dari meja makan, ia pun melihat Reza yang tengah menelepon seseorang. Namun entah siap yang tengah dia telepon, dari mimik wajah Reza ia sangat bahagia bahkan tersenyum girang seakan-akan mendapat sesuatu yang spesial. Wajah Reza sesekali melirik Nissa yang terdiam membisu merapikan meja makan, lelaki itu langsung beranjat tanpa memberi salam pada istrinya yang tengah berharap dia memanggil untuk berpamitan.
Air mata itu tak sengaja menitik di atas meja makan, dan ia pun tersadar bahwa dirinya menangis. Nissa menatap wajahnya dalam kaca meja, ia melihat matanya yang memerah merona menahan segala sebak di dada.
"Kau tidak apa-apa, kau tak boleh menangis," Dia mencoba menghibur dirinya sendiri namun rasa sebak semakin menjadi-jadi, Allah dia hanyalah wanita biasa yang mencoba menguatkan batinya dari segalah cabaran. Jatuh bangunnya rasa yang ia pikul, semakin berat untuknya adakalah rasa tak sanggup untuk memjalani semuanya.