Suara gamelan mengalun, mengiringi Teh Dini yang menari dengan luwes. Teh Dini sejak duduk si kelas lima selalu rutin latihan menari, di bawah asuhan Mang Yaya, sahabat ayahku almarhum. Ayahku senang bermain kecapi, dan Mang Yaya adalah pelatih tari tradisional, dan memiliki grup gamelan sendiri.
Teh Dini sering kali diajak tour ke luar kota untuk menari, dan mendapat bayaran. Selain uang, Teh Dini juga suka membawa oleh-oleh makanan khas daerah yang dikunjunginya, pemberian yang empunya hajat.
Uh, keren sekali kakakku ini
"Ayo, kamu ikut nari, An!" Ibu selalu mendorongku untuk ikut menari.
"Gak mau, ah!"
Aku selalu mencari alasan untuk berkelit!
Menari? Oh, No!
Pernah aku ikut latihan menari, dan sakit pinggang setelahnya.
Menari ternyata membuatku pegal!
"Ayo, dicoba! Lama-lama jadi bisa!" Ibu membujukku. Beliau memegang tanganku, kemudian digerak-gerakkan menirukan tarian Teh Dini.
"Gak, ah! Pegal!" ujarku.
Aku kemudian berlari menjauh, dan masuk ke dalam rumah.
Ibu hanya menggeleng-geleng kesal melihat kelakuanku.
Melihat raut wajah kecewa Ibu, aku jadi sedih!
Kenapa sih, harus nari? Aku gak mau nari! Aku maunya lari saja kayak A Bari! Gak usah berlenggang lenggok mengikuti irama!
Huuu...
Tak urung aku kemudian mengintip dari balik jendela kamar. Mengintip gerakan tarian Teh Dini yang indah!
Perlahan kucoba mengikutinya diam-diam.
Duh, susahnya!
Kaki kanan maju satu langkah, kedua kaki ditekuk. Tangan kiri ke samping, tangan kanan di dada dan berputar! Lalu maju mundur, kepala digerak-gerakkan dengan luwes.
Aduh, pusing! Keluhku dalam hati.
Kupaksakan terus mengikutinya, menari di dalam kamar, berhari-hari. Diam-diam aku selalu berlatih sendiri, sambil mengintip gerakan Teh Dini sampai hafal.
Yuhuuu...
"Nah, akhirnya bisa, kan?"
Betapa terkejutnya aku, karena Ibu tiba-tiba sudah ada di belakangku. Rupanya beliau memergokiku sedang menari sendiri di kamar.
Aku tersenyum malu.
"Duh, kirain gak ada Ibu!" keluhku.
"Bagus juga tarianmu, Nak!" Ibu memujiku. Senyumnya terpancar tulus.
Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan jengah. Pipiku terasa panas.
"Enggak, Bu, aku gak luwes kayak Teh Dini."
Ibu tersenyum simpul
"Kalau rajin, gerakanmu pasti luwes juga, An! Berlatih lagi sama Teh Dini, ya"
Sejenak aku termangu. Keraguan muncul di hatiku! Rasanya aku malu.
Malu tapi mau! Eh,...hehehe
"Mau?" Ibu menatapku.
Kuatatap mata Ibu. Rasanya hatiku jadi kuat!
Kuanggukkan kepalaku dengan yakin.
Senyum Ibu merekah, kedua tangannya mengembang. Kumenghambur ke dalam pelukan Ibu yang hangat dan memberiku kekuatan.
"Kamu pasti bisa, Nak!" bisiknya.
Aku mengangguk-angguk. Pikiranku jadi melayang.
Hm, rasanya menyenangkan juga bila bisa menari seperti Teh Dini, apalagi kalau dapat amplop saat tampil di panggung! Hehehe
Menari? Yes!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H