Baru saja memasuki ruang guru saat bel istirahat berbunyi, seorang siswa kelas tiga tergesa menghampiri.
"Bu, kelas enam ada yang berkelahi!"
Aku sangat terkejut.
Duh, rasa-rasanya tadi saat di kelas, tak ada tanda-tanda ada yang mau berkelahi! Hehe
'O, iya, makasih udah ngasih tahu!" kataku.
Anak itu mengangguk.
Kuurungkan niat beristirahat, dan bergegas menuju TKP.
Wah, benar saja, nampak dua orang berhadapan dan saling memaki dengan garang.
"Aku bunuh kamu!" teriak Ilham.
"Ayo, kalau berani!" Ardi tak kalah garang.
Dengan kekuatan penuh, mereka saling mendekat, dan mengayunkan kaki. Tendangan pun beradu dengan keras.
Buk! Dua-duanya pun terkapar.
Wah, sakit pastinya!
"Stop!" teriakku.
Kuhampiri adik kakak yang berseteru. Kupegang tangan mereka kiri-kanan.
"Ikut Ibu!"
Mereka sempat menolak, tetapi peganganku tak kulepas. Kutuntun mereka dengan paksa ke ruang kantor yang kosong, karena kepala sekolah sedang rapat di luar.
Anak-anak dari semua kelas mengerubungi dan mengikuti kami.
"Silakan kalian istirahat, ya!" ujarku membubarkan kerumunan.
"Ya, Bu!"
Anak-anak segera membubarkan diri, dan saling berbisik-bisik menatap kedua orang tersangka yang tertunduk malu.
"Duduk!" ujarku saat sampai di ruangan kantor.
Ilham dan dan Ardi, adiknya, menurut.
Mereka duduk berjauhan dengan napas menderu.
"Ada apa sampai kalian berkelahi, Nak?" tanyaku.
Kutatap mereka bergantian.
Mereka tak menjawab, hanya saling melirik tajam.
"Loh, kok pada diem? Kenapa, sih, adik kakak berkelahi di sekolah?" tanyaku sambil tertawa, memecah ketegangan yang begitu terasa.
"Tadi Ardi meminta uang bekal!" ujar Ilham ragu-ragu.
"Sudah kamu kasihkan?"
Ilham menggeleng.
"Kenapa tak kau beri?" tanyaku terheran-heran.
"Uangnya belum direcehkan, Bu!"
Aku mengangguk-angguk mengerti.
"Mana uangnya?"
"Sobek!"
Ilham mengeluarkan uang lima ribu rupiah kumel yang sudah terbagi dua.
"Ya, ampun, kenapa sampai robek begini!" ujarku penuh sesal.
"Tadi Ardi merebutnya. Jadi terlepas!"
"Oh, jadi karena itu, kalian langsung berkelahi?"
Mereka mengangguk.
"Bagus, nggak, jika penyelesaiannya dengan berkelahi?"
Mereka menggeleng.
"Harusnya bagaimana?"
"Damai!"
"Mau damai?"
Mereka terdiam, hanya kilatan mata mereka masih menyiratkan kemarahan.
"Ayo, mau damai?"
Tetap tak ada jawaban. Kaki mereka mengais-ngais lantai dengan gusar.
Aku jadi kesal.
Kulirik air teh di gelas masih utuh, rupanya belum diminum bapak kepala sekolah. Spontan kuambil.
Kutuang air teh ke telapak tangan. Terasa hangat.
"Bismillah! Biar damai!"
Muka Ilham dan Ardi yang berpeluh, kubasuh dengan air teh hangat.
Mereka yang tadinya manyun, akhirnya tertawa.
Dengan malu-malu mereka mengelap muka masing-masing.
"Nah, begitu! Lebih cakep kalau kalian tertawa! Daripada manyun gak karuan!" ujarku dengan suara melembut.
"Mau berdamai?" tanyaku sekali lagi.
Mereka mengangguk.
"Bagus!" ujarku.
Kuambil selotip di meja, kusorongkan kepada mereka.
"Ayo diselotip uangnya, biar bisa jajan sekarang!"
Mereka saling berpandangan, kemudian menyobek selotip dan merekat uang itu bersama-sama.
"Sekarang uangnya sudah bagus, kalian boleh jajan!" ujarku.
Mereka segera berdiri.
"Eit, harus salaman dulu dan berjanji tidak akan berkelahi lagi!" kataku menahan langkah mereka.
"Mau?"
Mereka mengangguk.
"Ucapkan, saya tidak akan berkelahi lagi!" perintahku.
"Berapa kali, Bu?"
Sejenak aku tertegun.
"Sepuluh kali!" ujarku.
Mereka bersalaman, dan mengucap janji tidak akan berkelahi lagi sebanyak sepuluh kaki.
Kutatap Ilham dan Ardi yang bergandengan tangan keluar dari ruang kantor. Begitu mesra, tak nampak seperti habis berseteru.
Duh, semoga mereka akur terus.
Aamin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H