"Bruk!"
Ada sesuatu menubruk pintu! Hal itu sangat mengagetkan kami yang sedang dicekam ketakutan.
Kami berlima diam saja meringkuk di pojokan, tak berani bergerak.
Mungkinkah hantu dari rumah Nugi mendatangi rumah kami?
Oh, tidaaak!
"Din!" tiba-tiba kudengar suara Ibu memanggil.
"Ibu!" kami sangat gembira, dan buru-buru bangkit.
Tetapi Ibu tampak terduduk di lantai. Barang belanjaan tergeletak di sana, bahkan sebagian berceceran.
Duh, kenapa?
"Ibu sakit?"tanyaku cemas.
Cepat-cepat kami membantu Ibu berdiri. A Bari membereskan belanjaan Ibu, dan membawanya ke dapur.
"Iya, sedikit pusing!" ujarnya lemah.
"Belum makan, ya, Bu?"
Ibu hanya mengangguk.
Kami memapah Ibu untuk duduk di tikar. Teh Dini bergegas mengambil air putih. Dengan hati-hati, Teh Dini membantu Ibu meminumnya. Ibu minum sedikit, dan bersandar ke dinding.
Kami memandangi Ibu yang pucat dengan khawatir.
"Ibu makan, ya!" Teh Dini memberikan sepiring nasi goreng.
"Aih, kalian belum pada sarapan?" Ibu tampak kaget.
"Belum, Bu!" jawabku, sambil kupijit-pijit kakinya.
"Kalian makanlah!"
"Iya, Bu. Itu dimakan saja sama Ibu, ya!" ujar Teh Dini.
Kak Bari mengambil tiga piring nasi goreng di meja, dan meletakkannya di hadapan Ibu.
"Nugi, mau?" Teh Dini menawari Nugi yang tetiba menjadi pendiam.
Nugi mengangguk. Dua piring nasi goreng dibagi menjadi empat. Ibu dan A Bari mendapat bagian sepiring utuh.
Kami pun sarapan bersama dalam diam. Kulihat tangan Ibu gemetar, mungkin beliau salatri, karena telat makan.
"Ibu istirahat saja, nanti kami yang akan mengurusi di dapur," kata Teh Dini.
Ibu mengangguk. Selesai makan, beliau masuk kamar untuk beristirahat.
"Ana bantu Teteh ya!"
"Iya, Teh."
Teh Dini segera membuka belanjaan Ibu, lalu memotong-motong kangkung. Aku ditugasi mengiris kol. Sayuran itu kemudian dicuci bersih, ditiriskan, dan direbus. Sayuran mentah pun disiapkan, untuk bahan karedok. Teh Dini sangat cekatan mengurus semua, termasuk menggoreng kacang tanah, dan menyiapkan bumbu lainnya. Bangun tidur nanti, Ibu bisa langsung berjualan, dan tidak perlu menunggu sore. Mudah-mudahandagangan Ibu laris.
Selesai tugas di dapur, kami duduk bertiga menunggui Ibu yang tampak terlelap. Nugi rupanya sudah pulang, dan A Bari sudah tak ada. Hu, dia pasti main layangan!
Ati menguap berkali-kali, Teh Dini pun mengajaknya untuk tidur.
Tiba-tiba aku teringat buah pepaya yang tergantung di pohon. Wah, baiknya pepaya itu kupetik saja buat Ibu. Tentu Ibu akan senang! Pikirku.
Meski Ibu dan Teh Dini melarangku, aku bersikeras untuk memetiknya. Mumpung hari Minggu! Hehe
Setelah menunggu keadaan cukup aman, diam-diam aku keluar. Dengan hati-hati, kuambil galah bambu, dan kuarahkan ke pepaya incaran. Pepaya yang sangat kecil, tetapi manis rasanya.
Tampak sangat menggiurkan, tetapi entah mengapa...
'"Aw!" seakan ada yang menghentak, tiba-tiba peganganku terlepas.. Ujung galah meluncur deras mengenai bagian atas bibirku. Aku terjatuh, dan ketika kupegang, ternyata ada darahnya! Seketika aku merasa panik.
"Ada apa?" Ibu terbangun mendengar teriakanku. Betapa terkejutnya Ibu melihatku berdarah.
"Ya, ampun, kenapa ini?" suara ibu meninggi.
Aku hanya terdiam.
"Ana metik pepaya?"
Aku tergugu dan hanya mengangguk.
Ibu menggeleng-gelengkan kepala, seolah tak habis pikir dengan kelakuanku.