"Teh Dini, gud morning ay lap yu!"
Suara Nugi, putra Bu Ida, tetangga sebelah, membangunkanku. Sinar mentari mengintip dari sela jendela kayu yang sudah keropos.
Duh, aku kesiangan, nih! Semalam tidurku agak kemalaman. Makan pecel malam-malam, membuat tidurku jadi nyenyak.
Cepat-cepat aku bangkit. Teh Dini dan Ati, sudah tak tampak. Kain selimutnya sudah terlipat rapi. Kulipat kain selimutku ngasal, dan bergegas menuju kamar mandi. Lantai terasa licin, pertanda sudah dipel Teh Dini. Duh, tugasku menyapu halaman rumah, belum kutunaikan.
Kulaksanakan salat subuh, meski telat, dan segera keluar rumah mengambil sapu lidi. Kulihat di halaman, Teh Dini sedang mengasuh Ati, Kak Bari sedang asyik menggambar layangan, sedangkan Ibu tak terlihat. Mungkin beliau masih di pasar.
Hari Minggu yang cerah, selesai bertugas, kami bisa leha-leha atau sarapan pagi. Nasi goreng bertabur bawang goreng, sungguh harum sekali. Ibu sudah menyiapkan empat piring nasi goreng, dan untuknya, seperti biasa, tak ada. Mungkin nasinya hanya cukup untuk kami berempat.
Di halaman rumah Bu Ida, kulihat Nugi melambai-lambaikan tangan. Dia anak usia 3 tahun, seusia Ati, yang sangat mengidolakan Teh Dini.
Setiap bangun tidur, ia akan mengintip ke arah rumah kami dan berteriak, "Teh Dini, gud morning, ay lap yu!"
Ih, kok, bukan ke aku, sih, bilang ay lap yu, nya? Hahaha. Duh, darimana, ya, dia mendengar kalimat itu? Sungguh kami tak habis pikir.
Kusapu halaman, yang ternyata tak banyak sampah. Hanya dua helai daun jambu batu yang tergeletak di sana. Aku melihat-lihat barangkali ada pepaya yang matang. Buahnya bulat kecil, dan bila sudah tampak menguning di salahsatu sisinya, pertanda pepaya itu sudah matang, dan bisa langsung dimakan.
"Teh, udah ada yang matang, nih!" aku berseru riang. Ibu sangat suka dengan pepaya mungil itu.