Mohon tunggu...
Neni Hendriati
Neni Hendriati Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 4 Sukamanah

Bergabung di KPPJB, Jurdik.id. dan Kompasiana.com. Hasil karya yang telah diterbitkan antara lain 1. Antologi puisi “Merenda Harap”, bersama kedua saudaranya, Bu Teti Taryani dan Bu Pipit Ati Haryati. 2. Buku Antologi KPPJB “Jasmine(2021) 3. Buku Antologi KPPJB We Are Smart Children(2021) 4. Alam dan Manusia dalam Kata, Antologi Senryu dan Haiku (2022) 5. Berkarya Tanpa Batas Antologi Artikel Akhir Tahun (2022) 6. Buku Tunggal “Cici Dede Anak Gaul” (2022). 7. Aku dan Chairil (2023) 8. Membingkai Perspektif Pendidikan (Antologi Esai dan Feature KPPJB (2023) 9. Sehimpun Puisi Karya Siswa dan Guru SDN 4 Sukamanah Tasikmalaya 10. Love Story, Sehimpun Puisi Akrostik (2023) 11. Sepenggal Kenangan Masa Kescil Antologi Puisi (2023) 12. Seloka Adagium Petuah Bestari KPPJB ( Februari 2024), 13. Pemilu Bersih Pemersatu Bangsa Indonesia KPPJB ( Maret 2024) 14. Trilogi Puisi Berkait Sebelum, Saat, Sesudah, Ritus Katarsis Situ Seni ( Juni 2024), 15. Rona Pada Hari Raya KPPJB (Juli 2024} 16. Sisindiran KPPJB (2024). Harapannya, semoga dapat menebar manfaat di perjalanan hidup yang singkat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Kapok

18 Januari 2023   06:40 Diperbarui: 18 Januari 2023   06:57 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pohon-pohon besar itu tampak angker menjulang. Kami menuruni jalanan licin di sebelahnya. Tampak di baliknya, sebuah telaga yang cukup besar dan bening, sehingga kami dapat melihat dasar kolam. Keadaan agak gelap, terlindung rimbunnya dedaunan. Akar-akar menjuntai, sebagian membelit pohon kian kemari. Aku terpana, dan diam mematung dan refleks menjauhi pohon itu.

       Dengan penuh percaya diri, Kak Ina, pimpinan geng, segera mendekati telaga.

       "Ayo kita coba airnya!"

       Dia menciduk air dengan kedua telapak tangannya, dan tanpa ragu diusapkan ke wajahnya.

       Kami yang terdiri dari enam orang, hanya melongo melihat aksinya.

       "Ayolah, coba rasakan dinginnya air di sini!"

       Kak Reni, kakakku, menggelengkan kepalanya, begitu pula teman kakak yang lainnya.

       "Kita pulang saja, di sini serem!" Kak Reni memegang tengkuknya.

       Akupun merasakan hal yang sama, bulu kudukku tiba-tiba meremang.

       "Ayo, cobalah, Lita!"

       Tiba-tiba Kak Ina menarik tanganku, secepat kilat, dicelupkannya tanganku. Cess, air dingin mengenai tanganku. Sejuk sekali, membuatku menggigil.

        "Gimana? Dingin, kan?" Kak Ina tertawa lebar.

       Aku cuma mengangguk, merasakan air sedingin es.

       "Ular!" tiba-tiba Kak Reni berteriak. Dengan panik ditunjuknya bagian bawah pohon besar itu

       Kami terkesiap

       Puluhan ular keluar dari bawah pohon, sebagian keluar dari dalam air.

       "Aw, tolong!" kami berteriak panik.

       "Lari!" Kak Reni menjerit.

       Aku yang mematung, segera diseret Kak Reni, berlari meninggalkan tempat itu. Sekuat tenaga, kami berusaha lari dari sana. Dalam keadaan panik, jalanan terasa licin dan menanjak curam.

       Aku menyeret kakiku yang gemetar, masih sempat kulihat puluhan ular menegakkan tubuhnya, siap menyerang kami. Karena tergesa-gesa, aku terpeleset dan terjatuh, ketika sampai di permukaan pemakaman.

Sejak saat itu tubuhku terserang gatal panas seperti terbakar. Gatalnya sangat menyengat, mula-mula hanya telapak tangan yang terasa, akhirnya seluruh tubuhku terkena gatal, dan ketika kugaruk, kulitku terkelupas memerah dan berair. Sungguh aku tersiksa. Hanya wajahku yang selamat, tak terkena gatal.

Kudengar dari Kak Reni, Kak Ina pun mengalami hal yang sepertiku, bahkan lebih parah! Wajahnya dipenuhi bintik --bintik bagai sisik ular, gatal di seluruh tubuh. Ternyata, hanya kami berdua yang diserang penyakit gatal, karena  kamilah yang menciduk air telaga itu.

Tak kuberi tahu ibu! Takut!

Namun, malam hari itu juga, beliau tahu dari Kak Reni yang tak tega melihat penderitaanku. Aku sangat takut ibu marah besar kalau megetahui aku bermain ke pemakaman bersama Kak Ina. Namun, ternyata ibu tak marah. Ibu hanya tertegun dan menghela napas.  Ibu membawaku berobat serta merawatku dengan penuh kasih sayang, hingga aku sembuh berbulan-bulan setelah peristiwa itu!

Sejak saat itu, aku kapok bermain bersama anak yang lebih besar, terutama dengan Kak Ina.

(Cuplikan dari Buku Cici Dede Anak Gaul, dengan judul Berenang di Kerajaan Ular)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun