Oleh Neni Hendriati
"Bandros haneut(Bandros hangat)!"
Tek-tek tek, terdengar suara khas tongkat kecil dari besi, mengenai pikulannnya.
Setiap pagi si Mang berteriak menawarkan dagangannya. Sudah bertahun-tahun si Mang berjualan, mungkin sudah puluhan tahun. Si Bungsu saja sudah lulus kuliah, dan bekerja. Dari masih belajar berjalan sampai kuliah, ia senang jajan bandros hangat.
Dari kejauhan, dia pasti sudah berteriak-teriak memanggil, "Mang!".
Dan dengan riang, dia akan langsung melahap bandros, yang ditiup-tiup tak sabaran.
Kini ia sudah bekerja di Bandung, tak lagi bisa menikmati bandros si Mang yang gurih dan hangat. Ya, tentu saja gurih, karena ada parutan kelapa dalam adonannya.
Hari yang dingin. Hujan gerimis sejak subuh tadi. Si Mang tetap menjajakan jualannya
"Mang, beli!" bocah kecil seberang rumah melambaikan tangan.
Seketika wajah si Mang cerah. Dengan semringah, dia menghampiri bocah tadi. Dari bibirnya keluar rasa ucap syukur."Alhamdulillah, Gusti!"
Dibungkusnya dua lempeng bandros, yang setiap lempeng berisi lima bandros hangat. Jadi total ada sepuluh bandros hangat. Berpindahlah uang lima ribu dari tangan gempal milik si Bocah.