Sejak kecil, sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya  sudah hobby membaca, dan dari hobby membaca itulah, saya menjadi senang menulis juga. Apakah ada dari pembaca sekalian, yang masih ingat dan juga membaca, bahkan berlangganan majalah anak-anak seperti Majalah Bobo, Majalah Kawanku, Majalah Kuncung? Nah, bacaan saya ketika itu, adalah ketiga majalah anak-anak tersebut, Bapak saya yang suka membelikannya, tetapi ada juga hasil dari meminjam ke teman sekelas saya yang juga berlangganan majalah anak-anak tersebut. Sisanya saya suka meminjam dari perpustakaan sekolah.
Bapak saya sendiri, sama-sama suka membaca dan menulis juga. Beliau belangganan majalah berbahasa Sunda, namanya majalah Mangle, karena kami memang bersuku Sunda, orang Jawa Barat. Selain majalah Mangle, Bapak saya berlangganan Majalah Panji Masyarakat, Majalah Intisari, dan surat kabar harian Kompas kalau tidak salah. Bahkan buku bacaan koleksi beliau pun sangat banyak. Dari mulai buku bacaan  tentang agama Islam, novel Bahasa Sunda, politik, biografi, dan sebagainya. Dan saya ikut-ikutan membacanya juga sebagian, terutama Majalah berbahasa Sunda itu, yang menjadikan saya cukup mahir berbahasa daerah baik lisan maupun tulisan dibanding anak-anak seusia saya waktu itu. Terbukti  ketika di sekolah, saya sering menjadi murid yang memperolaeh nilai yang sangat baik, bahkan yang paling bagus untuk mata pelajaran Bahasa Daerah. Pun untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, saya selalu mendapatkan nilai yang bagus dan cukup tinggi. Apalagi kalau sudah ada tugas mengarang, saya selalu mendapatkan nilai yang sangat memuaskan.
Menginjak usia remaja, bacaan saya pun menjadi semakin banyak jenisnya, majalah anak-anak sudah saya tinggalkan karena tentu saja sudah tidak cocok lagi dengan usia saya yang sudah  bukan anak-anak lagi. Bacaan saya pun berganti menjadi majalah Gadis, majalah Aneka, dan novel-novel berat baik novel dari pengarang Indonesia, maupun novel pengarang luar negeri. Ketika masa remaja telah habis, dan saya menginjak masa pra dewasa dan benar-benar menjadi wanita dewasa, majalah yang saya baca pun ikut berubah juga. Majalah saya waktu itu berganti menjadi Majalah Femina, beberapa Tabloid, seperti Tabloid Nova, Cek and Ricek, dan sebagainya.
Terlebih lagi ketika saya sudah bekerja dan sudah mempunyai penghasilan sendiri, di mana membeli kebutuhan yang saya inginkan tidak harus membebani orang tua lagi, kegemaran saya membaca semakin menjadi-jadi, karena bacaan apa pun yang saya inginkan, bisa saya beli sendiri, bahakan tidak perlu lagi meminjamnya dari perpustakaan atau kios penyewaan buku dan novel.
Saya menyukai novel , novel apa saja saya baca, tidak harus bergenre tertentu, Â asalkan saya suka dengan isinya, dari mulai novel berbahasa Sunda karangan Ahmad Bakri, Edy D. Iskandar, novel Lima Sekawan karangan Enyd Blyton, Little House On The Prairie karangan Laura Ingalls Wilder, novel detektif karya Agatha Christie, novel drama hukum karya John Grissam, novel drama karya Sidney Sheldon, dan novel drama karya Erich Segal. Untuk novel dengan pengarang Indonesia, saya suka membaca novel karya Marga T., N.H. Dini, Umar Khayam, Andrea Hirata, Hilman Hariwijaya, dan banyak lagi yang saya lupa untuk menyebutkannya satu persatu.
Kemudian, dari banyak membaca itu, saya jadi tertarik untuk menulis, menulis hal-hal ringan yang terjadi sehari hari, yang hanya saya tulis di buku diary, karena waktu jaman saya remaja itu, masih belum ada komputer, media untuk menulis ya harus ditulis tangan atau diketik dengan mesin tik.
Seiring berjalannya waktu, ketika media untuk menulis sudah difasilitasi dengan benda yang di sebut dengan komputer, di mana kemudahan untuk menulis menjadi sangat-sangat mudah, karena penulis bisa membuat draft dulu, untuk kemudian bisa dikoreksi lagi, dan bisa disimpan di media yang disebut disket, atau di dalam folder penyimpanan di media komuter itu sendiri, bahkan di kemudian hari media penyimpanan pun sudah lebih canggih lagi yaitu berupa flash disk yang dengan ukurannya yang sangat kecil, bisa dibawa ke mana-mana dan bisa dipindahkan dari media yang satu ke perangkat yang lainnya, semisal dari komputer ke telephone genggam, dari telephone genggam ke lap top, atau sebaliknya.
Dengan segala kemudahan di atas, saya menjadi semakin rajin menulis, tetapi tetap menulis yang  tentunya apa adanya, baik dari isinya yang sederhana, di simpannya pun bisa di mana-mana, yang saya sendiri pun sampai lupa, di folder mana saya menyimpan tulisan-tulisan saya tersebut, hahahaha. Dan tak ada sedikitpun terpikirkan untuk mempublikasikan tulisan-tulisan tersebut, selain tentu karena tidak punya rasa percaya diri, hati saya pun dipenuhi keragu-raguan apakah tulisan saya layak untuk dibaca orang lain.
Meskipun begitu, pernah juga sih, saya menulis di blog pribadi saya, artinya saya secara tidak langsung sudah punya sedikit keberanian membagi tulisan saya untuk bisa dibaca orang lain.
Lalu bagaimana awal mulanya saya menemuakan Kompasiana, saya menemukannya secara tidak sengaja. Latar belakang saya membaca artikel di Kompasiana, bukan karena saya membuka Kompasiana, lalu kemudian saya mencari artkel di dalam Kompasiana untuk dibaca. Tidak begitu, tapi sebaliknya, waktu itu saya kebetulan sedang mencari artikel tentang sesuatu, lalu saya ketikkan kata kunci di google search, keluarlah salah satu artikel dengan isi yang kurang lebih memang sedang saya cari tersebut. Saya tidak fokus ke Kompasiananya, Â tidak juga kepada penulisnya siapa, tapi saya hanya fokus kepada isi tulisannya saja. Sudah begitu saja.
Di lain waktu, saya mencari seseorang, sama, waktu itu saya ketikkan nama orang tersebut di kolom google search, keluarlah nama beliau, ada di Facebook, ada di artikel media online, dan terakhir ada di Kompasiana ini. Saya buka laman Kompasiana yang memuat tentang orang yang saya cari tersebut, ternyata pas dibuka, ada artikel singkat dari beliau yang rupanya berisi tentang perkenalan singkat, atau deskripsi pendek tenatng beliau sebagai seseorang yang tergabung di media menulis Kompasiana ini.
Lalu saya bertanya-tanya dalam hati, jadi Kompasiana ini, media apa ya? Saya lalu mencari tahu, ternyata eh ternyata, seperti dikutip dari laman Wikipedia, Kompasiana adalah: blog jurnalis bertransformasi menjadi sebuah media warga (citizen media). Di sini, setiap orang dapat mewartakan peristiwa, menyampaikan pendapat dan gagasan serta menyalurkan aspirasi dalam bentuk tulisan, gambar ataupun rekaman audio dan video. Kompasiana menampung beragam konten dari semua lapisan masyarakat dari beragam latar belakang budaya, hobi, profesi dan kompetensi. Kompasiana juga melibatkan kalangan jurnalis Kompas Gramedia dan para tokoh masyarakat, pengamat serta pakar dari berbagai bidang, keahlian dan disiplin ilmu untuk ikut berbagi informasi, pendapat dan gagasan. Di Kompasiana, setiap orang didorong menjadi seorang pewarta warga yang, atas nama dirinya sendiri, melaporkan peristiwa yang dialami atau terjadi di sekitarnya. Keterlibatan aktif warga ini diharapkan dapat mempercepat arus informasi dan memperkuat pondasi demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tren jurnalisme warga seperti ini sudah mewabah di banyak negara maju sebagai konsekuensi dari lahirnya web 2.0 yang memungkinkan masyarakat pengguna internet (netizen) menempatkan dan menayangkan konten dalam bentuk teks, foto dan video.
Dan ternyata, keberadaan Kompasiana ini sudah hadir sejak bulan September 2008, 14 tahun yang lalu. Ke mana saja saya selama ini? Sungguh amat sangat sedemikain telatnya saya mengetahui ini semua. Ketinngalan info, kurang update, dan lain sebagainya.
Wah, bisa dong ya saya juga ikut menulis di Kompasiana ini? Saya baca tata caranya, persyaratannya, mekanismenya, dan bismillah, tanggal 09 Sepetember 2022, saya mulai mendaftarkan diri agar bisa bergabung sebagai penulis di Kompasiana ini. Saya mengisi data diri, identitas diri yang cukup panjang saking lengkapnya, dari mulai alamat surel, nomor E-KTP, NPWP, nomor rekening pembayaran, bahkan akun sosial media pun kalau kita punya diminta diisikan tautannya.Dan kebetulan karena saya senang bersosmed, saya punya hampir semua akun di media sosial dari mulai akun Facebook, Instagram, Channel Youtube, akun twitter, linkedin, dan kesemua akun di atas saya isikan.
Alhamdulillah, di hari yang sama, akun saya sudah divalidasi dan terverifikasi, yang ditandai dengan centang warna hijau yang melakat di bagian akhir  nama saya. Tak terhingga rasa senangnya, tinggal saya menyempatkan waktu untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang tata cara menulisnya agar tidak menyalahi aturan, dan tentu saja yang tidak kalah penting juga,menyiapkan waktunya untuk menulis.
Tarraaaa, tulisan pertama telah berhasil saya kirimkan pada tanggal yang sama akun saya disetujui dan terverifikasi. Dan di halaman profil saya,ada keterangan debutan , ada poin berupa angka, lalu di kolom statisik, ada keterangan-keterangan berupa data jumlah artikel, jumlah views, jumlah follower, jumlah following, serta jumlah komen,
Beberapa saat kemudian, saya cek tulisan saya, ternyata, untuk tulisan saya yang pertama itu, sudah ada yang melihat atau membacanya, meskipun viewsnya hanya puluhan saja, di hari kedua, saya kirimkan lagi artikel kedua, dan lumayan, views naik tajam, berjumlah 700-an views, bahkan sudah ada bebarapa yang memberikan rating juga. Tulisan ketiga pun demikian, meskipun views tidak sebanyak tulisan kedua, tetapi di atas angka seratus.
Dengan hasil seperti itu saja, bukan main bahagianya saya, bahkan semangat saya semakin terdongkrak. Saya sadar, sebagai debutan, tulisan saya tentunya tidak sebaik, tidak sepopuler tulisan para senior saya di Kompasiana ini, tetapi ketika tulisan saya ada yang membaca, itu saja sudah membuat saya berbahagia, lebih dari itu, semoga saja tulisan saya juga bermanfaat.
Begitulah pengalaman saya, bagaimana awal mulanya mulai menulis di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H