Mohon tunggu...
Winarsih
Winarsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - makhluk

seorang manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bila Musim Pencitraan Tiba

25 Desember 2013   12:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:30 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelombang kampanye dimulai. Publik dikerubuti gambar-gambar dan jargon, bukan pemahaman atas integritas yang kualitas kandidat.

Pemilihan umum memang masih akan berlangsung tahun depan. Komisi Pemilihan Umum mematok jadwal untuk pemilihan anggota legislatif, pada 9 April 2014 dan presiden pada 9 Juli 2014. Namun keriuhannya sudah terasa dari sekarang. Kampanye-kampanye di berbagai media massa, dijalanan dengan menempelkan foto para kandidat yang sebagian besar tak dikenal publik, dan biasanya disertai gambar tokoh yang lebih terkenal, misalnya pemimpin partai politik yang bersangkutan atau bapak bangsa.

Kehadiran kandidat pemimpin yang paling nyata adalah mereka yang memiliki senjata berupa media. Aburizal Bakrie misalnya, leluasa berkampanye di TV One. Beliau bahkan sudah memiliki nama kampanye, yaitu ARB bukan Ical, seperti nama panggilannya yang banyak dikenal publik. Ketua Umum Partai Golkar ini juga tampak sekali siap dengan model penampilannya. Tidak hanya menghiasi diri dengan warna kuning (warna partai Golkar) tapi beliau juga sering muncul dengan warna putih. Entah apa pesan yang ingin disampaikan oleh tim ini.

Pasangan Wiranto dengan Hary Tanoesoedibjo dengan kendaraan partai Hanura, bisa malang melintang memanfaatkan saluran MNC Group. Pasangan wajah yang sudah mentasbihkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden ini bisa ada di RCTI, atau disaluran kelompok MNC lainnya. Lagi-lagi publik disuguhi dan harus menerima kehadiran WinHT ini, demikian nama duet ini disingkat di sela-sela menonton berita, sinetron, atau acara-acara lainnya.

Satu lagi adalah Partai Nasional Demokrat dengan Metro TV. Meski Surya Paloh, pemilik saluran televisi pemberitaan ini, belum mencalonkan diri, namun wajah dan kegiatan NasDem bermunculan di saluran televisi Metro. Bahkan sempat ada tayangan tentang betapa canggihnya sistem teknologi informasi NasDem yang mampu mencatat keanggotaan di seluruh penjuru negeri secara on line dan akurat. Surya Paloh memang mengatakan partai ini baru akan mencalonkan presiden bila memenangi pemilu anggota legislatif 2014, namun publikasi tetap rutin dilakukan.

Ya, bagi kandidat yang memiliki media massa, mereka bisa unjuk kekuatan dengan mudah. Bagi para calon presiden yang tak punya media, namun memiliki kapital sangat besar, bisa juga membayar iklan-iklan di televisi. Hal itulah yang dilakukan Prabowo Subianto, calon presiden yang diusung Partai Gerindra. Sekali-sekali juga muncul Hatta Radjasa yang menahkodai Partai Amanat Nasional(PAN).

Lalu, bagaimana dengan para kandidat yang punya modal tidak terlalu banyak? Sudah pasti mereka mencari cara masing-masing, yang sayangnya sama-sama mengganggu. Misalnya ada yang memasang foto di belakang metromini. Wajah dengan make-up yang cukup tebal, tersenyum lebar sungguh sangat kontras dengan metromini yang kumuh tersebut. Alih-alih bisa memberikan pendidikan politik kepada publik, kampanye seperti ini justru mengganggu.

Hebatnya, tak hanya itu saja cara mengganggu publik, masih ada jalan lain. Misalnya tak sedikit kandidat baik untuk perwakilan rakyat pusat maupun daerah yang menempelkan poster dengan gambar mereka diberbagai tempat di kota tempat mereka masing-masing. Bahkan pohon-pohon yang tak punya salah apapun, harus teraniaya dengan paku-paku yang digunakann untuk menempelkan poster -poster para politisi tersebut.

Bisa dipastikan keriuhan promosi akan makin seru. Ribuan wajah di berbagai kota, desa, bendera, umbul-umbul, stiker, dan banyak lagi barang yang masuk dalam paket kampanye, bertebaran, berbulan-bulan ke depan. Uang pun dihambur-hamburkan, meski jadwal resmi kampanye memang masih lama, namun sosialisasi (demikian mereka menyebut) sudah terjadi. Alasannya, konstituen perlu tahu dan kenal orang-orang yang akan mewakili mereka. Benarkah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun