...kalah Menang adalah bagian dari suatu kompetisi....tapi ketika tugas Juri disalahgunakan, apa yang harus dilakukan???
Sepanjang perjalanan pulang dari ajang lomba Seni tingkat SD se-kabupaten akhir pekan lalu, Kiki ---salah satu anak didik yang menjadi peserta unggulan dari sekolah kami, memang tampak ceria saja. Tapi selalu ada satu ketika saya menangkap sorot matanya menerawang jauh.
"Kenapa, Ki? Masih terasa kecewa ya?" tanya saya, berbisik di telinganya. Mencoba mengalahkan angin yang berlomba keluar masuk dari kaca jendela mobil yang sengaja dibuka untuk menghilangkan gerah siang itu.
"Enggak, sih, bu. Tapi..."
"Kenapa, Ki?"
"Tadi saya nyanyinya jelek ya, bu?"
Saya tersenyum, mencoba mencari jawaban bijak tapi tak membingungkan anak lelaki kelas 4 SD ini.
"Mmm...bukan jelek sih, tapi memang peserta yang lain lebih bagus...Kiki masih kelas 4, tahun depan bisa ikutan lagi, kok...mau kan?"
Kiki mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati saya merasa sangta beruntung, betapa anak ini punya hati sekeras baja. Diajak latihan setiap hari sampai lewat jam makan siang dari pagi pun, dia tetap asyik aja tuh. Walau kadang mendapatkan omelan saat berlatih, dia tetap menghadapinya dengan senyum.
Termasuk kali ini, ketika hasil lomba diumumkan. Tadinya kami berharap, dari nomor lomba nyanyi solo ini Kiki bisa menembus babak selanjutnya. Buah dari latihan kami berhari-hari, dan hasil dari kemenangan Kiki di tingkat kecamatan.
Kiki maju ke panggung dengan optimis, senyum manis, dan vokal prima. Suaranya lantang terdengar menyanyikan lagu wajib "Aku Anak Indonesia" karya A.T Mahmud (yang juga dipopulerkan oleh Tasya), dan lagu pilihan lagu daerah berjudul "Tumpak beca" karya Mang Koko, lengkap dengan iringan kecapi dan suling, sesuai dengan Juknis yang kami dapatkan sebelum pelaksanaan lomba.
Sejak peserta petama naik panggung, keanehan sudah terasa. Lagu wajib tidak sesuai dengan apa yang tertera di Juknis, lagu pilihan pun tidak menggunakan alat musik daerah/tradisional yang dibawakan secara langsung seperti seharusnya, melainkan menggunakan Keyboard. Bahkan ada peserta yang menggunakan tambahan alat musik Biola ketika membawakan lagu tradisional. Bertambah heranlah saya, ketika lagu-lagu tertentu dibawakan dengan tempo yang berbeda dengan partitur, bahkan berubah menjadi kontemporer ---alias semaunya si peserta. Hm, semua tercatat dalam hati saja.
Saya ungkapkan hal ini kepada para pembina dalam rombongan kami, dan hampir semua mengiyakan, membenarkan. meskipun peserta lain tak kalah bagus suaranya dalam menyanyikan lagu, tapi hal yang paling mendasar seperti nada dasar lagu, partitur, dan alat musik yang digunakan, semua tidak sesuai Juknis. membuat kami berpikir lain.
Astaghfirullah....sama sekali tak bermaksud su'udzon...tapi memang tak mudah ya, ketika tugas menjadi Juri itu diberikan kepada seseorang. Tanggung jawabnya dunia akhirat. Ketika kita melakukan tugas tersebut, tentunya yang juga harus diingat adalah Kejujuran yang harus dijunjung tinggi, bukan sekedar 'amplop' yang harus di'turut'.
Sebagai seorang guru yang baru menginjak tahun ke dua mengajar di Sekolah Dasar ini, sedikit demi sedikit memang saya mencoba mengerti apa yang terjadi dalam setiap jejak saya. Mengikuti kompetisi seperti ini juga baru kali ini (untuk tingkat yang lebih luas). Sudah terbayang di benak saya, akan seperti apa jadinya suatu lomba dan jurinya jika tingkat wilayahnya lebih tinggi. Dan mungkin saja, bukan hanya di Lomba seni tingkat SD seperti sekarang ini, tapi juga di lomba lainnya.
"Mudah-mudahan, jurinya jujur ya, Bu....saya rela kalah kalau jurinya memang benar, bu...." kata Kiki lagi. Ada kilatan cahaya di mata bulatnya yang memancarkan semangat baru.
Ya, Nak...mudah-mudahan saja begitu. Setidaknya dari hari ini saja pun, kita sudah belajar satu hal, betapa bersikap JUJUR itu sulit...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H