Rabu 14 Februari 2024. Hari kasih suara. Bukan hari kasih sayang. Di Komplek Permata Depok hujan turun cukup deras. Hujan dari subuh itu masih membasahi perumahaan yang berada di wilayah Kelurahan Pondok Jaya, itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB.
Saya, suami, dan anak pertama kami, belum bersiap menuju TPS 069 yang berada di Lapangan Berlian. Kami masih menunggu hujan mereda. Sambil menunggu saya membaca berita lewat hape. Di dalam undangan undangan mencoblos atau formulir model C6, "pesta" dimulai dari pukul 08.00 sampai 13.00. Sepertinya sih masih terkejar. Â
Semoga saja hujan segera mereda. Pukul 09.30, hujan agak mereda, yang tadinya deras berubah menjadi rintik-rintik. Alhamdulillah. Kami pun bersiap. Terlihat mendung masih menggantung di langit yang kelabu. Apakah sekelabu harapan masyarakat menyusul tayangnya film "Dirty Vote"? Entahlah.
Jarak rumah kami ke Tempat Pemungutan Suara atau TPS tidak begitu jauh. Mungkin sekitar 50 meter, mungkin lebih, tapi tidak sampai 100 meter. Ketika kami sampai di sini, "pesta demokrasi" tengah berlangsung. Ada yang sedang menunggu di ruang tunggu untuk mendapat giliran namanya dipanggil.
Ada juga yang sedang berada di bilik suara. Membuka lembaran-lembaran surat suara. Ada juga yang sudah mencoblos lalu memasukkannya ke kotak suara. Ada juga yang terlihat mencelupkan jarinya ke tinta yang menunjukkan sudah "bersuara".
Di luar TPS, warga yang baru datang berkerumun mengamati nama-nama calon legislatif yang terpasang di papan. Baik itu untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat, DPR Jawa Barat, dan DPR Kota Depok.
Dipasangnya nama-nama caleg ini untuk memudahkan pemilih untuk "mengenal" siapa yang akan dipilihnya. Jadi, saat berada di bilik suara, pemilih tinggal langsung mencoblos tanpa harus melihat lagi satu persatu caleg yang terdapat dalam surat suara. Jadi, bisa menghemat waktu.
Tidak tertinggal, tentu saja terpasang nama dan gambar calon presiden dan calon wakil presiden. Sebagaimana kita ketahui ada tiga pasangan kandidat. Anies Baswedan-Muhaimin dengan nomor urut 1, Prabowo-Gibran dengan nomor urut 2, dan Ganjar-Mahfud dengan nomor urut 3. Â
"Pesta demokrasi" di TPS 069 ini cukup sederhana. Tidak ada sajian makanan dan minuman buat pemilih sebagaimana yang namanya "pesta". Tidak ada alunan musik syahdu yang menemani para pemilih selama pesta berlangsung.
Tendanya pun biasa, tidak ada hiasan-hiasan berwarna warni. Wajahnya benar-benar "polos". Satu-satunya "hiasan" di dalam tenda ini hanya  papan informasi mengenai para kandidat capres dan cawapres, para caleg, dan nama Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Lantai terlihat basah bekas jejak-jejak sandal atau sepatu dari para pemilih yang basah. Bisa dimaklumi bekas hujan masih membasahi jalanan. Tidak mungkin juga kan jalanan dalam kondisi basah, sandal atau sepatu tetap kering?
TPS ini mungkin luasnya seperti rumah tipe 36. Tidak ada sekat antara meja pendaftaran, ruang tunggu, meja lembar surat suara, para saksi, bilik suara, kotak suara, dan meja tinta. Jadi, terlihat jelas pergerakan para pemilih dan para petugas.
Kami lalu menyerahkan surat undangan beserta KTP kepada petugas KPPS atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara. Data kami kemudian dicocokkan pada lembaran Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Setelah ditemukan nama kami, petugas meminta kami untuk memperlihatkan dua tangan kami. Petugas ingin memastikan kami memang belum memilih. Prosedur dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang begitu, kata petugas.Â
"Kami hanya menjalankan aturan," ucap petugas tersenyum ketika saya menanyakan alasannya.
Tujuannya, kata petugas, untuk menghindari terjadinya kecurangan dari pemilih ganda atau pemilih titipan. Siapa tahu, ada pemilih yang sudah menggunakan haknya di TPS lain, lalu menggunakan kembali di TPS yang lain. Namanya juga curang, berbagai cara akan dilakukan.
Setelah memastikan jari-jemari kami bersih dari tinta, tanpa noda setitik pun, petugas meminta kami untuk menandatangani di kolom yang sesuai nomor urut di DPT. Saya tanya, apakah boleh dengan paraf? Petugas menjawab harus tanda tangan. Oke, baiklah.
Sambil menunggu nama dipanggil, kami menunggu di tempat yang disediakan. Tidak banyak kursi di tempat ini. Kalau saya hitung sih tidak sampai 10 kursi. Itu sebabnya, sebagian warga menunggu di luar sambil "mempelajari" caleg-caleg di papan informasi.
"Selanjutnya Putik Cinta Khairunnisa," panggil petugas seraya menyebutkan nomor urut pemilih ketika mendapat kode dari petugas lain bahwa ada satu bilik suara yang kosong
Anak saya pun maju menuju meja surat suara. Petugas mengembalikan KTP kepada anak saya kemudian petugas menyerahkan lima kertas surat suara. "Ada lima ya, calon presiden, DPD, DPR Pusat, DPR Jawa Barat, DPR Kota Depok," sebutnya yang terdengar oleh saya.
Anak saya kemudian diarahkan ke bilik suara. Saya hitung ada lima bilik suara yang ukurannya selebaran satu orang saja. Ketika ada yang sudah menyelesaikan "misinya", petugas memberikan kode untuk satu pemilih masuk ke bilik.
Nama saya pun dipanggil. KTP saya dikembalikan, petugas lalu menyerahkan lima kertas suara yang tadinya terikat, kemudian dilepas. Saya lantas berjalan ke arah bilik suara. Nah, di bilik suara ini yang membuat pikiran saya mumet, seperti sedang ujian kelulusan saja.
Untuk kertas suara presiden dan wakil presiden sih gampang. Kandidatnya cuma tiga. Mereka sudah sering berseliweran di media sosial,sering tampil di layar televisi dan wajahnya ada di baliho-baliho atau spanduk-spanduk para caleg. Jadi sudah dikenali.
Beda dengan para caleg. Tidak ada gambar wajah, hanya ada nama caleg dari tiap partai. Tidak mengenali satu persatu caleg. Dari sekian caleg dari 19 partai peserta pemilu, saya hanya "mengenal" satu nama saja.
Okelah, daripada saya pusing tujuh keliling, akhirnya saya mencoblos caleg dari partai yang menurut pengamatan saya selama ini amanah. Setidaknya selama lima tahun terakhir ini selalu mengkritisi demi kesejahteraan rakyat.
Kalau di lembar surat suara DPD, memang ada nama dan gambar wajah tapi tanpa nama partai. Bikin saya pusing lagi karena tidak mengenalinya. Ada satu yang saya kenal, artis komedian Komeng. Selebihnya ya tidak kenal.
Setelah saya baca satu persatu nama-namanya, akhirnya saya memutuskan mencoblos satu nama. Selesai, kemudian saya lipat kembali kertas surat suara. Untuk mencoblos saja, saya sampai menghabiskan waktu 5 menit.
Saya lalu ke kotak suara, memasukkan surat suara sesuai dengan warna di surat suara, yang dibantu oleh petugas. Mulai dari presiden - wakil presiden, DPD, DPR Pusat, DPR Provinsi hingga DPR Kota Depok. Selesai, saya pun mencelupkan jari tangan saya ke tinta.
Tuntas sudah kami memberikan hak suara pada pemilu 2024. Kami pun pulang. Saya bertanya pada anak saya, siapa yang dia pilih? Anak saja menjawab, "Rahasia dong." Baiklah.Â
Semoga saja pemilu ini berjalan sesuai dengan harapan banyak masyarakat. Semoga saja presiden dan wakil presiden baru nanti dapat membawa Indonesia lebih maju, lebih sejahtera, lebih makmur tanpa korupsi.Â
Pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab. Pemimpin yang tidak memperkaya diri dan keluarganya. Pemimpin yang selalu memikirkan rakyatnya. Pemimpin yang selalu berinteraksi dengan Allah selama dalam menjalankan kepemimpinannya.
Aamiin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H