Sudah tiga tahun ini, suami pelihara ikan arwana. Dari ukuran kecil sebesar 2 jari tangan hingga ukuran selengan. Ikan ini dibelinya saat pandemi Covid-19 dan adanya pembatasan aktivitas ke mana-mana.
Entah harganya berapa saat itu, saya tidak tahu. Lupa juga apakah suami menginfokan kepada saya harganya? Katanya sih, ikan ini harganya mahal. Bahkan dinobatkan sebagai salah satu ikan termahal di dunia. Hmmm...
Dibeli suami sebagai hiburan semata mengingat pekerjaan kantor dikerjakan di rumah sebagaimana anjuran pemerintah. "Meja kerjanya" ditaruh dekat aquarium.Â
Jadi, bisa sebentar-sebentar melihat ikan arwana jika lelah atau suntuk menyergap. Tentu saja ditemani segelas kopi liong tanpa gula kegemarannya dan sebatang rokok. Sambil berpikir, berpikir, entah apa yang dipikirkan.Â
Kalau saya sih tidak suka pelihara hewan, apa pun itu. Apalagi kucing. Huuuh, malas saja mengurusinya. Membuang-buang waktu saja. Mending juga saya urus anak-anak, yang lebih jelas tujuannya hehehe...
Sebulan lalu suami bilang ikan arwana yang entah jenisnya apa itu, terlihat lesu, tidak nafsu makan, dan tidak ada gairah hidup. Sepertinya ada tanda-tanda sebentar lagi menuju ambang kematian.
Indikasinya, setiap suami kasih makan, makanannya tidak dimakan. Dibiarkan begitu saja. Sudah berhari-hari begitu. Seperti ada masalah dalam dirinya. Apakah dia merasa kesepian atau jenuh menjalani hidup?
"Bund, nanti kalau arwananya memang udah waktunya mati, Bunda masak ya. Ini mahal lho kalau beli ikan arwana segede ini," kata suami.
Saya tidak menjawab iya. Belum pernah juga masak ikan arwana yang notabene termasuk ikan hias. Apa enaknya ikan hias dijadikan santapan? Membayangkannya saja saya sudah eneg.
"Kenapa nggak dijual aja kalau memang mahal?" tanya saya.