"Ini ruang IGD juga? Apa bedanya dengan yang ini?" tanya saya kepada petugas security.
"Iya Bu. Ini ruang IGD juga, tapi untuk pasien cowok, kalau pasien perempuan di sini. Kalau pasien perempuannya lebih banyak, maka pindah ke ruang IGD cowok, yang cowok pindah ke sini," jawabnya.
Oh begitu. Jadi ruang IGD pasien laki-laki dan perempuan dipisah. Baguslah kalau begitu. Kalau di rumah sakit umum kan tidak. Saya hitung jumlah bednya memang lebih banyak. Hitungan saya sih sekitar 10-12 bed.
Sambil menunggu, ada sekitar 4 pasien baru yang masuk IGD. Dua pasien pria dan dua pasien perempuan. Ada yang diantar keluarga, ada juga yang diantar relawan yang tergabung dalam satu komunitas. Setidaknya, begitu yang terbaca dari rompi yang dipakai relawan.
Tiba-tiba ada ibu paruh baya meminta petugas kesehatan memberikan pertolongan pertama pada salah satu anggota keluarganya. Setelah ditanya, pasien mengalami sesak napas. Sepertinya terkena serangan jantung jika melihat riwayat kesehatannya.
"Ibu sudah tahu kalau ini rumah sakit jiwa?" tanya petugas kesehatan, mungkin dokter. Si ibu terlihat bingung.
"Pokoknya yang penting kasih pertolongan pertama aja dulu dok," pintanya.
"Ibu, karena ini rumah sakit jiwa, maka tidak tersedia obat untuk penyakit jantung, dokter spesialis jantung juga tidak setiap hari ada. Di sini juga tidak ada ruang ICU. Tidak apa-apa Bu?" tanya petugas. Si Ibu masih terlihat bingung.
"Saran saya lebih baik ke RS PMI, dekat kok dari sini. Kalau di sini, dikhawatirkan akan membuat kondisi Bapak semakin parah. Kalau tiba-tiba pasien di sini berisik, membuat ulah, apa itu tidak membahayakan Bapak? Bisa-bisa serangan jantungnya jadi parah," kata petugas.
"Iya, dibawa ke RS PMI aja ya Bu. Saturasinya bagus kok, 95. Masih bisa tertangani dengan baik," kata petugas pria.
"Mohon maaf ya Bu, bukannya kami tidak mau menerima. Cuma di sini tidak dilengkapi dengan peralatan kedokteran untuk penyakit-penyakit nonkejiwaan, seperti penyakit jantung," kata  petugas perempuan.