Gawat, Indonesia saat ini tengah menghadapi darurat peradaban hukum. Bagaimana tidak. Potret penegakan hukum di Indonesia kian semrawut. Berita-berita menghiasi bagaimana ulah para oknum penegak hukum.
Hakim ditangkap, jaksa bermasalah. Institusi Polri juga dihantam bertubi-tubi dengan berbagai persoalan. Belum selesai persoalan yang satu, muncul persoalan yang lain.Â
Tertangkapnya seorang Hakim Agung melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK baru-baru ini menjadi pukulan telak dan berat terhadap lembaga peradilan sebagai puncak dari Benteng Keadilan Indonesia.Â
Belum lagi adanya fakta-fakta sebanyak 85 Hakim dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah dijatuhi sanksi oleh Komisi Yudisial pada rentang waktu antara Januari hingga November tahun 2021.Â
Tidak hanya itu, organisasi advokat juga dirundung perpecahan. Akibatnya, penegakan hukum berjalan tidak semestinya.
Bisa dibilang, mulai dari hulu hingga hilir kondisi peradaban hukum Indonesia saat ini sedang mengalami masalah berat sehingga masuk kondisi darurat.
Demikian disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2003-2008 Prof. Jimly Asshidiqie, saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional bertajuk "Darurat Peradaban Hukum, Sejauh Mana Kewenangan Presiden Terhadap Lembaga Yudikatif".
Seminar yang  dimoderatori Dr Muchtar dan Dr Susetya Herawati, ini digelar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), di Kampus Unkris, Jatiwaringin, Bekasi, Jawa Barat, Rabu 19 Oktober 2022.
Kedua pihak berkolaborasi sebagai  salah satu cara urun rembug dari para akademisi dan praktisi hukum terkait poin-poin penting reformasi hukum di Indonesia.Â
Kegiatan seminar nasional tersebut diikuti oleh sekitar 250 peserta yang hadir secara luring di kampus Unkris dan lebih dari 1000 peserta yang hadir secara daring.