Setelah tiga tahun blokade, di Muharram, tahun kesepuluh misi Nabi SAW, faksi Makkah melanggar perjanjian. Abu Thalib sangat prihatin tentang keamanan Nabi Muhammad yang tidak lain keponakannya sendiri.
Abu Thalib kerap meminta Nabi berbaring di tempatnya atau berpindah ke tempat lain sebagai upaya mengelabui usaha pembunuhan.
Situasi yang menimbulkan penderitaan kaum muslimin ini ternyata menciptakan perselisihan di antara berbagai kubu Makkah yang memiliki hubungan darah yang kuat dengan orang-orang yang terdampak kena embargo.
Seluruh anggota Bani Hasyim dan Bani Muthalib, kecuali Abu Jahal, justru bersatu melawan pemboikotan. Mereka mendesak untuk membatalkan boikot tersebut. Mereka berpandangan boikot ekonomi ini tidak adil. Karena itu, harus batal demi hukum.
Mereka pun berkumpul menentang embargo dan bersepakat untuk membatalkan pengumuman pembokiotan.
Mereka mendatangi Abu Jahal di tempat pertemuan mereka di dekat Ka'bah. Secara terbuka, mereka menentang tindakan boikot.
Abu Thalib saat itu berada di salah satu sudut masjid sehingga dapat menyaksikan perdebatan yang terjadi di antara mereka.
Pada hari yang sama, Nabi Muhammad SAW memberi tahu sang paman Abu Thalib bahwa Malaikat Jibril memberitahunya semut telah memakan pakta atau perjanjian yang terkunci di dalam Ka'bah.
Abu Thalib percaya dengan ucapan keponakannya yang memang tidak akan pernah berbohong. Abu Thalib lantas menantang para pemimpin Makkah untuk memeriksa apakah ini benar.
Ia menyampaikan, jika membuka Ka'bah dan menemukan pakta dalam keadaan utuh, dia berjanji akan menyerahkan Nabi Muhammad SAW kepada mereka.
Namun, apabila perkataan Nabi benar, maka mereka harus mengakhiri boikot. Mereka setuju dan membuka Ka'bah untuk membuktikan cerita tersebut. Dari sana, ditemukan seluruh perjanjian itu ternyata telah dimakan oleh semut. Kecuali kalimat 'Bismikallahumma' yang menjadikan kebiasaan orang Arab menulis surat.