Mereka memberikan pelayanan kepada seseorang yang terkena penyakit cacar dan penyakit tak berbahaya lainnya. Kelak, para dokter itu pun berkumpul menjadi suatu ikatan tersendiri.Â
Pada 1909 STOVIA berhasil meluluskan muridnya. Tidak lagi bergelar Dokter Jawa melainkan Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera). Dokter-dokter ini berwenang mempraktekkan ilmu kedokteran seluruhnya termasuk kebidanan.
Mereka diangkat menjadi pegawai pemerintah dan ditempatkan di daerah-daerah terpencil untuk mengatasi berbagai macam penyakit menular.Â
Dokter-dokter muda ini akan dibekali dengan tas kulit yang berisi alat-alat kedokteran dan uang saku untuk perjalanan menuju lokasi tugas.
Tahun 1919 berdiri Rumah Sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (sekarang menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) di Salemba yang dipimpin oleh Dr. Hulskoff.Â
Karena sarana dan prasarananya lebih lengkap dan modern, rumah sakit ini lalu dijadikan sebagai tempat praktek pelajar STOVIA.Â
Pada 5 Juli 1920 secara resmi seluruh kegiatan pendidikan STOVIA dipindahkan ke jalan Salemba. Sekarang dikenal dengan "Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia". Sedangkan STOVIA lama dipergunakan untuk asrama pelajar.
Gedung STOVIA yang lama tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran Sekolah Kedokteran Bumiputra. Gedung ini pada 1925 menjadi tempat pendidikan untuk MULO (setingkat SMP), AMS (setingkat SMA) dan Sekolah Asisten Apoteker.Â
Masuknya tentara Jepang pada 1942 mengakhiri penggunaan Gedung STOVIA sebagai tempat kegiatan pembelajaran.
Lantas apa hubungan Museum Kebangkitan Nasional dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)?Â