Selasa 3 Mei 2022, di hari kedua lebaran. Adzan Ashar berkumandang. Juga menandakan tuntas sudah agenda bersilaturahmi dengan keluarga pihak ibu saya di Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat.
Kami pun memutuskan pulang ke Depok. Namun, sebelum berangkat, suami mengecek di Google Maps yang ternyata jalurnya berwarna merah. Berarti, jalanan dalam kondisi macet. Â
Saudara sepupu saya yang akan balik dari Pelabuhan Ratu juga melaporkan jalanan macet parah. Kendaraan tidak bisa bergerak. Stuck. Stagnan.
Ok. Akhirnya, kami memutuskan pulang jam 10 malam saja. Siapa tahu di jam itu, kemacetan sudah terurai. Kami pun melanjutkan mengobrol-ngobrol dengan paman, bibi, para sepupu, dan para keponakan.
Kami membawa dua kendaraan. Satu kendaraan berisi adik kedua saya, istri, dua anaknya, dan abah, ayah kami. Jenis kendaraanya Daihatsu Sirlion.
Sedangkan di mobil saya yang Isuzu Bighorn berisi suami, saya, tiga anak saya, abang pertama beserta istri dan anaknya yang kecil serta adik bungsu saya. Muatlah hahaha...
Jam 10 malam kami pun berangkat. Taraaa...ternyata masih macet. Kendaraan dari arah Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi lumayan padat.
Kendaraan padat, tapi syukurnya masih bisa berjalan. Tidak stuck. Kondisi macet tapi terpantau terkendali.
"Apa sih sebenarnya yang bikin macet? Kan sudah malam. Angkot-angkot juga sudah nggak beroperasi. Pasar juga sudah tutup juga kan?" tanya suami.
Abang saya bilang meski sudah malam aktivitas di Terminal Cibadak dan Pasar Cibadak masih terus bergeliat. Keduanya saling bersebelahan.
Terlebih sebentar lagi berganti hari. Para pedagang akan mempersiapkan dagangannya. Terutama untuk produk sembako dan sayur mayur.
Hingga kendaraan sampai di Pasar Cibadak, pertanyaan mengapa bisa macet belum juga terjawab. Karena ternyata setelah dilihat aktivitas di Pasar Cibadak terpantau normal.
"Jadi apa penyebabnya? Yang pasti karena jumlah kendaraan bertambah sementara ruas jalan begitu-begitu saja." Suami yang bertanya, suami yang menjawab sendiri hehehe...
Setelah melewati Pasar Cibadak, kendaraan padat tapi masih bisa melaju. Sampai akhirnya mendapati jalur alternatif ke Pelabuhan Ratu yang ditutup. Nah, kalau ini ditutup, mengapa juga masih macet?
Seperti tadi pagi, suami kembali bermanuver, melewati bahu jalan yang bisa dilewati satu mobil, meski sedikit agak gelap. Alhamdulillah bisa melewati banyak kendaraan. Ya, setidaknya bisa bernapas lega sejenak.
"Coba diberlakukan buka tutup seperti di Puncak, mungkin nggak akan seperti ini. Jam sekian sampai jam sekian kendaraan ke arah Bogor dibuka. Baru jam berikutnya yang ke arah Sukabumi dibuka. Kalau mau bisa aja diberlakukan," kata suami.
Saya perhatikan mulai dari Cibadak hingga pertigaan Cigombong, petugas yang mengatur lalu lintas hanya satu saja. Mungkin karena kendaraan masih terpantau lancar meski cukup padat.
Di pinggir-pinggir jalan saya perhatikan beberapa pengemudi motor beristirahat sejenak. Memang cukup melelahkan. Saya sudah bisa membayangkan dan merasakan.
Ada yang membawa istri dan anaknya yang masih bayi. Jadi ingat zaman saya dulu "mudik" pakai motor saat anak-anak masih batita hehehe...
Ada juga yang bersama teman-temannya konvoi. Merebah sejenak di emperan toko yang tutup. Ada yang sambil mendengarkan musik, ada yang sambil minum kopi.
Hingga ke pertigaan Cigombong menuju Tol Bocimi (Bogor, Ciawi, Sukabumi), kendaraan masih tersendat. Sebenarnya, menurut saya, pertigaan inilah yang menjadi biang keroknya. Pertigaan keluar pintu Tol Bocimi. Jika ke kiri ke arah Sukabumi, ke kanan ke arah Bogor.
Mengapa? Karena ada traffic light, yang untuk lampu merah saja cukup lama, tetapi untuk lampu hijau cuma sebentar.
Suami akhirnya memutuskan tidak berbelok melewati Tol Bocimi tetapi terus ke arah Bogor. Khawatirnya banyak pengemudi yang berpikiran sama dan membuat kemacetan di sepanjang jalur tol.
Eh, ternyata setelah pertigaan Cigombong ke arah Bogor, jalanan terpantau lancar. Kendaraan juga tidak sepadat dari arah Sukabumi. Jalanan bisa dibilang cukup lengang. Wah, lega dong.
Saya janjian dengan adik saya di Rancamaya setelah melewati Lido dan Masent. Jam sudah menunjukkan pukul 01.30 dini hari.
Mau mengoper Abah ke mobil saya. Adik saya yang tinggal di Bogor, tidak mungkin juga mengantar Abah ke Ratujaya. Kasihan. Sudah dini hari. Pasti capek banget.
Ternyata, ban mobil mobil adik saya pecah. Jadi, sekalian mengganti dengan cadangan. Setelah itu, melanjutkan perjalanan pulang.
Abah bertanya, kok bisa duluan kami yang sampai di Rancamaya dibanding mobil adik saya?
"Kan ikuti jalur elf yang lewat bahu jalan," jawab suami tertawa.
Kami melewati Banda, Ciawi, Bogor, Warung Jambu, Pemda Bogor, Pondok Rajeg, Kalimulya, Grand Depok City, Alhamdulillah sampai deh di Ratujaya. Tidak ada kemacetan. Saya pun mendrop Abah, abang, kakak ipar, keponakan, dan adik saya di rumah abah.
Baru deh lanjut ke Permata Depok. Sampai rumah itu jam 2.30. Wah, berarti berapa lama itu ya? Sekitar 4,5 jam perjalanan. Lebih lama dibanding waktu tiba di Cibadak. Tapi tidak apa-apalah daripada harus tersendat oleh kemacetan yang parah.
Demikian laporan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H