Hari kedua lebaran, Selasa 3 Mei 2022, saya "mudik" ke kampung halaman almarhumah ibu saya, di Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Â
Selain bersilaturahmi dengan adik-adik ibu saya, yang tidak lain paman dan bibi saya, juga sekalian "menengok" enin, begitu biasa ibu saya disapa.
Kalau lihat di google maps, jarak dari rumah saya di Permata Depok, Kota Depok, Jawa Barat, sampai ke sini sekitar 70 km dengan waktu tempuh sekitar 2,5 jam.
Sebenarnya, kami sudah sering juga ke Cibadak - Sukabumi. Jadi, paham jika jalur ini selalu macet. Hari libur, hari biasa, selalu begitu. Terutama di pertigaan Cigombong. Entah apa yang membuatnya begitu.
Untuk menghindari macet, kami memutuskan jalan selepas agak pagi, sesudah shalat Subuh. Sebelumnya, terlebih dahulu harus jemput adik dan kakak saya, di Ratujaya, yang menumpang mobil saya.
Rute yang kami tempuh jalan Margonda Raya, lewat tol Cijago, tembus tol Jagorawi, tembus tol Bocimi (Bogor, Ciawi, Sukabumi).
Tarif tol Cijago Rp 9000, tarif tol Jagorawi Rp 7000, dan tarif tol Bocimi lebih tinggi dibandingkan dengan tarif tol Jagorawi, yaitu Rp 14.000. Pastikan saldo e-money mencukupi untuk membayar tarif tol.
Sepanjang perjalanan di tol, lancar-lancar saja. Kendaraan juga tidak padat. Tidak saya temukan kemacetan sebagaimana kemacetan yang terjadi di tol-tol lain. Rute di google maps menunjukkan warna hijau.
Saya perhatikan ada rambu rute "Cibadak - Sukabumi" tetapi papan rambu itu diberi tanda silang. Itu berarti, tidak boleh dilewati. Kenapa tidak pakai? Sayang saja kan sudah mengeluarkan uang banyak eh tidak dipakai.
Ternyata, kata abang saya, rute tersebut belum bisa dilewati karena masih terkendala pembebasan lahan. Kalau ini sudah beroperasi, nanti tembusnya ke Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Jadi, memangkas waktu lebih singkat.
Menjelang gerbang tol Cigombong, kami disuguhi pemandangan pegunungan di kanan dan kiri jalan.
Setelah tol Bocimi yang ke arah Cigombong, Kabupaten Bogor, kendaraan mulai padat. Jalur di google maps menunjukkan warna merah hingga ke titik tujuan. Berarti macet nih. Saya sudah siap-siap mental menghadapi kemacetan.
Tapi syukurlah, meski kendaraan padat merayap, tapi tidak tersendat. Tidak harus berhenti lama sebagaimana peristiwa di tol-tol lain yang cukup "mengenaskan". Mobil masih bisa berjalan.
Karena mobil yang kami kendarai jenis Isuzu bighorn, jadi suami bermanuver mengambil bahu jalan yang cukup dilewati untuk satu mobil. Jalan yang tidak mulus ini cukup membantu kami melewati belasan mobil yang terlihat merayap.
Kami serasa tengah offroad mengingat kontur bahu jalan ini tidak mulus, berbatu, dan bergelombang. Suami saya memang sudah terbiasa offroad bersama teman-teman komunitasnya. Bahu jalan ini masih belum seberapanya dengan kontur jalan saat offroad.
Sebenarnya beberapa ratus meter dari pintu keluar tol Bocimi ada jalur alternatif. Ada petugas yang membawa bendera merah yang mengarahkan kendaraan jika ingin melewati jalur ini.
Beberapa rambu lalu lintas menuju jalan alternatif terlah disediakan oleh jajaran Satlantas Polres Sukabumi sebelum memasuki jalan alternatif tersebut. Ada tulisannya juga "Jalur alternatif Cibadak - Sukabumi".
Jalur alternatif ini tembus ke Parungkuda. Namun, abang saya tidak menyarankan untuk lewat jalur alternatif. Katanya sih macet-macet juga, lagi pula sempit dan bergelombang.
Kata abang saya, jalur alternatif ini memang kerap digunakan sebagai jalur menuju Sukabumi saat macet. Jalur Cihideung sepanjang 54 Kilomter ini juga cukup terjal dengan kontur jalan yang cenderung berkelok dan turun-naik.
"Jalur altenatif ini nggak selebar jalan utama, dan turun-naik. Nggak semua pengendara bisa melewati jalur ini, apalagi sedan. Lamun jenis mobil bighorn mah bisa," kata abang saya.
Jadi, ia menyarankan lebih baik ikuti jalur utama saja. Suami juga tidak mau lewat jalur alternatif.
Ok. Kami melewati jalur utama. Alhamdulillah lancar saja. Macet sih sebenarnya, tapi tidak tersendat. Kendaraan masih bisa jalan. Sampai akhirnya melewati titik keluar jalan alternatif, yang ternyata jalannya sempit memang.
"Tembusnya ini jalur alternatif tadi, macet juga," kata abang saya.
Terlihat ada satu petugas polisi dan dua warga yang membantu mengatur kendaraan yang akan keluar dari jalur alternatif.
Selepas ini, jalan mulai lancar hingga pasar Cicurug. Di sini, kendaraan padat merayap tapi tidak tersendat. Suami saya kembali mengambil bahu jalan untuk mengurai kemacetan.
Saya perhatikan sepertinya tidak ada yang berani mengikuti cara kami kecuali angkot. Mungkin khawatir dengan kondisi mobil. Saya perhatikan juga tidak ada petugas kepolisian yang berupa mengurai kemacetan.
Alhamdulillah bisa melewati belasan bahkan puluhan kendaraan. Lalu kembali berada di jalan utama. Kemudian kembali lagi ke bahu jalan hingga akhirnya sampai di Pasar Cibadak.
Pasar Cicurug, lalu Pasar Parungkuda, Pasar Cibadak, memang menjadi titik kemacetan karena banyak angkot yang ngetem.
Kemacetan bukan hanya terjadi pada musim mudik saja tetapi pada hari biasa aktivitas pasar kerap membuat arus lalu lintas melambat bahkan hingga terjadi kemacetan panjang.
"Mantap...!" seru saya lega. Ya senang dong akhirnya terlewati juga titik-titik kemacetan itu.
"Habis mau bagaimana lagi, padahal tinggal 3 km lagi, kan bikin bete," kata suami tertawa.
"Coba kalau kita jalan agak siangan lagi, bisa-bisa semakin padat," tambah suami.
Alhamdulillah, sampai di Cigereji, Cibadak, tanpa hambatan. Kami sampai jam 9.45. Itu berarti, butuh waktu sekitar 4 jam. Di luar estimasi yang 3 jam.
Demikian laporan saya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI