Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Pro-Kontra Penutupan Permanen Perlintasan Kereta Rawa Geni

24 April 2022   10:24 Diperbarui: 26 April 2022   17:30 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bangkai kendaraan yang tertabrak di perlintasan Rawa Geni (dokumen pribadi)

Peristiwa kecelakaan antara mobil dan kereta comutter line, terjadi di perlintasan liar di kawasan Rawa Geni, Kelurahan Ratu Jaya, Kecamatan Cipayung, Kota Depok, Rabu, 20 April 2022.

Buntut dari peristiwa itu, perlintasan maut tersebut ditutup permanen. PT KAI, Kementerian Perhubungan, dan Pemerintah Kota Depok memasang lima tiang besi di setiap akses perlintasan tersebut, Kamis lalu.

Terpasang juga spanduk besar berisi pemberitahuan bahwa perlintasan ditutup permanen demi keselamatan bersama.

Penutupan ini hanya berselang satu hari setelah peristiwa tabrakan kereta Commuter Line KA 1077 relasi Bogor-Jakarta Kota dengan mobil minibus.

Sebagaimana perlintasan sebidang rel kereta di tempat lain, di Jalan Rawa Geni ini juga dibuat warga sekitar yang dibangun secara sederhana.

Petugas yang berjaga adalah warga setempat yang saling bergantian berjaga. Mereka membangun akses ini dengan klaim mempermudah mobilitas warga kedua wilayah di sisi rel kereta.

Perlintasan ini adalah perpotongan antara jalur kereta api dan jalan umum yang dibuat sebidang. Perlintasan ini menjadi solusi karena akses atau lokasi penyeberangan resmi tidak ada. Kalau saya perhatikan sih memang tidak ada.

Banyaknya perlintasan sebidang di sepanjang rel karena semakin meningkatnya aktivitas masyarakat pengguna kendaraan, yang harus melintas jalur kereta api. Sehingga menjadi titik rawan kecelakaan.

Tentu saja dengan adanya penutupan ini, memunculkan pro kontra warga sekitar. Biasalah itu. Di mana-mana, segala kebijakan ada yang setuju, ada juga yang tidak setuju.

Bagi yang pro, ya setuju-setuju saja demi keamanan dan keselamatan masyarakat yang melintasi rel kereta. Selain itu, untuk menghindari kemacetan yang disebabkan oleh menumpukkan kendaraan yang menunggu kereta lewat.

Sebagai warga yang sering melintasi jalan Citayam Raya, saya sih setuju-setuju saja. Selain karena pintu perlintasan rawan kecelakaan, juga untuk menghindari kemacetan.

Saya tinggal di Ratujaya itu sejak saya kelas 1 SMP. Sebelumnya, tinggal di Depok 1. Tidak begitu jauh dari Kantor MUI Depok yang di jalan Nusantara Raya.

Sejak saya menetap di Ratujaya, sepanjang jalan raya Citayam itu, entah ada berapa banyak titik perlintasan liar kereta. Tidak bisa saya hitung. Entah sudah berapa banyak juga kasus kejadian kendaraan dan orang yang tertabrak kereta.

Kasus kecelakaan yang melibatkan dua kereta juga pernah terjadi. Waktu itu di Gang Kemuning, Ratu Jaya. Ya tentu saja menimbulkan banyak korban. Korban luka dan korban meninggal.

Saya menjadi warga Permata Depok sejak 2007 dengan kecamatan yang sama dengan Rawa Geni. "Resminya" sih sejak perumahaan ini pertama kali dibuka pada 2000. Saya membeli kavling, lalu membangun sendiri ketika sudah menikah.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Untungnya, menuju perumahan Permata Depok ini tidak harus melewati perlintasan rel kereta. Jadi, insyaallah amanlah.

Suami saya termasuk juga yang setuju. Alasannya, sesuai SOP memang seharusnya begitu. Meski palang perlintasan dijaga secara sukarela oleh warga, tetap saja beresiko.

"Kalau mau seharusnya semua perlintasan kereta ditutup. Jangan hanya di tempat terjadi kecelakaan yang di Rawa Geni aja," kata suami.

"Berarti, harus muter dong. Cari jalan alternatif," kata saya.

"Ya nggak apa-apa, yang penting agar kecelakaan terhindari. Perlintasan ini nggak punya pintu otomatis dan rambu peringatan. Sesuai dengan undang-undang, perlintasan liar harus ditutup," tukas suami.

Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian yang mulai melarang adanya perlintasan yang sebidang dengan jalan raya.

Sedangkan yang kontra warga meminta jalan tersebut tidak ditutup permanen. Warga menyadari pintu perlintasan itu belum memiliki izin atau belum terdaftar secara resmi.

Namun, jika ditutup, warga yang tinggal di sekitar Gang Rawageni harus memutar mencari jalan alternatif, yang jaraknya jadi cukup jauh dan waktu tempuh yang lebih lama.

Terlebih warga melintasinya  untuk banyak keperluan. Ya ke sekolah, bekerja, ke pasar, berbelanja hingga urusan pemakaman dan berobat.

Jalan alternatif ini juga termasuk "jalan tikus" yang melewati permukiman warga yang cukup padat.

Bisa dibayangkan bukan, jalanan sempit dilewati banyak kendaraan? Apa tidak bikin semakin bising? Belum lagi, banyak anak kecil yang bermain. Tentu saja membuat orangtua harus meningkatkan kewaspadaan.

Iya, mungkin tidak masalah bagi warga yang mengendarai motor. Bagaimana dengan warga yang naik angkot dan turun di Gang Rawa Geni?

Bagaimana juga warga yang pesan ojek online? Ongkosnya jadi lebih mahal karena jarak tempuh yang semakin jauh.

"Kalau saya minta dibuka. Soalnya, ini jalan utama. Ini bisa ke Jembatan Serong, ke Cipayung, bisa ke Pitara, bisa ke Sawangan," kata Irfan seorang tukang ojek pangkalan di samping rel.

Bangkai kendaraan yang tertabrak di perlintasan Rawa Geni (dokumen pribadi)
Bangkai kendaraan yang tertabrak di perlintasan Rawa Geni (dokumen pribadi)

Persoalan bukan hanya di situ saja. Jalan alternatif yang ditempuh itu menembus jalan Dipo. Nah, di jalan tembusan ini akhirnya padat juga. Timbul kemacetan baru.

"Tembus-tembusnya di jalan Dipo itu. Muternya jauh juga," kata Marjudin, kawan saya yang tinggal tidak begitu jauh dari Rawageni.

Cuma, jalan alternatif ini agak sempit. Jadi susah untuk dilalui kendaran dua arah. Terutama, pengguna kendaraan roda empat. Karena itu. Harus mencari jalan alternatif yang lain.

Kemarin saja, abang saya jalan dari rumahnya di jalan Belimbing, Beji, jam 16.30 ke rumah Abah, sapaan ayah kami, tiba di rumah Abah pas adzan Maghrib. Kebetulan di rumah Abah ada bukber keluarga.

Itu abang saya naik motor. Entah bagaimana ceritanya jika abang saya membawa mobil. Mungkin tiba selepas adzan Maghrib.

Ada beberapa titik kemacetan yang membuat perjalanan abang saya begitu lama.  Mulai dari Terminal Depok, Stasiun Depok Lama, pertigaan Grand Depok City (GDC), dan jembatan Dipo.

Abang saya setelah melewati beberapa titik kemacetan itu harus berjibaku lagi dengan kemacetan yang muncul di Jembatan Limo, imbas dari jalan perlintasan rel yang ditutup itu.

Nah, begitu pula dengan saya. Perjalanan dari Permata Depok hingga ke Jalan Gandaria 1, Ratujaya, macet. Penyebabnya ya apalagi kalau bukan perlintasan rel kereta.

Normalnya waktu tempuh hanya 10-15 menit. Tapi karena sebentar-sebentar kereta lewat, jadi muncul kemacetan. Kadang kemacetan ini bisa terurai dalam waktu cepat, terkadang lama juga.

Kereta yang lewat kan tidak seperti jaman dulu. Tidak lagi lama. Jika dulu kereta yang lewat bisa 30 menit sekali atau bahkan 1 jam sekali, nah sejak beberapa tahun ini  setiap 5 sampai 10 menit kereta melintas.

Bisa dibayangkan, berapa lama waktu terkuras akibat kemacetan akibat adanya perlintasan kereta? Belum lagi angkot yang terkadang ngetem tidak begitu jauh dari perlintasan. Menunggu calon penumpang.

Anak saya yang kecil paling trauma kalau naik mobil harus melintasi rel kereta. Pasti wajahnya sudah pucat pasi dan ketakutan. Ketakutan yang bisa dimaklumi.

Soalnya, pernah kejadian mobil yang kami tumpangi berhenti di tengah rel kereta saat ke arah Pasar Citayam. Mau melaju tertahan angkot, mau mundur juga tertahan angkot. Benar-benar padat. Dan, angkot tidak ada yang mau mengalah.

Sementara di Stasiun Citayam suara "neng nong neng nong" tidak berhenti-henti berbunyi. Menandakan kereta yang berhenti di Stasiun Citayam siap melaju ke arah Stasiun Bojong Gede atau kereta dari arah Bogor akan memasuki Stasiun Citayam.

Syukurlah, kereta melaju perlahan, memberikan ruang dan waktu perlintasan aman. Maklum, jarak dari Stasiun Citayam ke perlintasan itu cukup dekat sehingga bisa terlihat jelas oleh masinis.

Sebenarnya, waktu pandemi Covid-19, tidak ada kemacetan, lengang, karena adanya pembatasan kegiatan masyarakat. Nah, ketika menuju endemi ini, kemacetan mulai kembali menjadi pemandangan sehari-hari.

Tapi masa iya harus ada pandemi dulu biar tidak macet?

Kalau menurut saya, PT KAI, Kementerian Perhubungan dan Pemkot Depok tidak sekedar menutup permanen pintu perlintasan liar kereta, tetapi juga membangun akses resmi yang aman untuk dilintasi.

Dari saya remaja hingga setua ini, belum ada tuh akses perlintasan resmi. Berpuluh tahun lho. Yang ada ilegal semua. Ada yang ditutup dibuka lagi oleh warga.

Pemerintah memang harus lebih giat lagi menjalin komunikasi dan sosialisasi dengan warga sekitar tentang bahaya perlintasan liar. Jadi, bisa sambil merangkul warga. Jangan hanya sekedar menutup.

Intinya, perlu ada solusi. Perlu ada mediasi untuk memberikan jalan alternatif terbaik. Ya win win solution. Warga aman dan nyaman. PT KAI juga aman dan nyaman dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun