Jumat lalu, 11 Februari 2022, saya menemani anak pertama saya ke Perpustakaan Nasional. Kami berjalan kaki dari Stasiun Gondangdia. Sesampainya di sini, ternyata tutup. Baru dibuka kembali pada Senin, 14 Februari 2022.
"Kakak sudah daftar online belum?" Tanya saya.
Sehari sebelumnya, saya sudah mengingatkan untuk daftar online terlebih dulu. Ini diberlakukan sejak Covid-19. Nanti kita dikasih scan QR untuk masuk. Hari apa, jam berapa.
"Sudah," jawabnya.
"Memang nggak ada informasi kalau tutup hari ini, Kak?" Tanya saya.
"Kakak nggak merhatiin," jawabnya.
Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi. Tapi langsung pulang kan tidak lucu juga. Tidak enak juga. Terlebih temannya yang tinggal di Tangerang Selatan diajaknya. Kan kasihan juga.
Saya lantas mengajak ke Galeri Nasional Indonesia yang di Medan Merdeka Timur. Kebetulan, anak saya ini memang suka yang "berbau-bau" seni. Di kamarnya saja terpampang beberapa lukisan hasil goresannya.
Dekat juga dari sini. Tinggal jalan kaki ke arah Stasiun Gambir. Menyeberang deh. Bagi saya ini jarak dekat. Anggap saja JJS alias jalan-jalan santai alias jalan-jalan sore. Cuaca yang cukup bersahabat. Jalanan agak lengang juga.
Sampailah di Galeri Nasional Indonesia. Ternyata ada pameran "Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak" yang berlangsung hingga 27 Februari 2022. Ada juga pameran tetap.
Untuk bisa berkunjung ke pameran ini, harus daftar online sehari sebelumnya. Free alias tidak dipungut biaya. Buka dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam. Begitu penjelasan petugas keamanan.
Kami belum mendaftar. Masa pulang tanpa hasil lagi? Lalu saya tunjukkan kartu identitas  saya sebagai pekerja lapangan. Setelah dikomunikasikan dengan pihak penanggung jawab, kami pun dipersilakan masuk.
Alhamdulillah. Tentu saja harus ke bagian pendaftaran dulu untuk mencatat nama kami. Karena ada 2 pameran yang kami kunjungi, lengan kiri kami pun ditempeli label hijau dan kuning. Tanpa label ini pengunjung tidak bisa masuk.
Ternyata pameran "Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak" dibuka sejak 28 Januari. Diadakan oleh Galeri Nasional Indonesia dan Goethe-Institut Indonesien. Menghadirkan karya koleksi Galeri Nasional Indonesia dalam balutan narasi.
Pameran ini bagian dari Collecting Entanglements and Embodied Histories, proyek dialog kuratorial jangka panjang yang diprakarsai oleh Goethe-Institut. Â
Bekerja sama dengan empat institusi penting di Thailand, Singapura, Jerman, dan Indonesia -- MAIIAM Contemporary Art Museum, Singapore Art Museum, Hamburger Bahnhof (bagian dari Nationalgalerie -- Staatliche Museen zu Berlin di Jerman), dan Galeri Nasional Indonesia.
Jadi, pameran ini juga diadakan di Thailand, Singapura, dan Jerman. Menampilkan koleksi karya dari keempat institusi tersebut.
Setiap pameran memiliki narasi kuratorial yang berbeda. Ada Anna-Catharina Gebbers (Jerman), Gridthiya Gaweewong (Thailand), June Yap (Singapura), dan tentu saja Grace Samboh (Indonesia) -- kurator Pameran "Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak" ini.
Pameran "Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak" ini benar-benar bertutur atau bernarasi. Bagi yang bukan pecinta seni, mungkin akan berpikir berkali-kali maksud dari karya seni yang ditampilkan.
Tapi syukurlah, setiap karya seni yang dipamerkan yang jumlahnya sekitar 200 itu dilengkapi dengan penjelasan. Yang dapat dibaca setelah pengunjung menscan QR yang tertempel di samping karya seni. Termasuk riwayat seniman yang dimaksud.
Sebut saja karya instalasi berjudul "Paduan Suara yang Tidak Bisa Berkata Tidak" karya seniman S. Teddy D. Karya yang diciptakan pada 1997 ini direproduksi pada 2021.
Paduan Suara yang Tidak Bisa Berkata Tidak ini dipajang di dinding layaknya lukisan. Karya ini terdiri atas beberapa balok kayu yang disusun seperti anak tangga.
Di atas tiap kayu, terdapat kepala-kepala ayam dari resin yang dibariskan seperti kelompok paduan suara dan mereka berkokok-kokok.
Kepala-kepala ayam itu berwarna kuning, seperti warna partai politik yang mendukung Soeharto lebih dari tiga dekade.
Tepat di atas kepala-kepala ayam ada potret hitam-putih sang seniman yang terpasang di dinding, seolah-olah ia adalah konduktor dari paduan suara itu.
Karya ini menggambarkan sikap dominan dalam budaya politik, yaitu ketidakmampuan untuk mengatakan tidak.
Seniman kelahiran 1971 ini konsisten berkarya dengan logika gambar. Apa yang dilihat oleh mata kemudian direkam otak sebagai beragam impresi visual.
Karya Marintan Sirait, seniman kelahiran Braunschweig, Jerman, 1960, berupa Instalasi dan seni rupa pertunjukan berjudul "Membangun Rumah". Karya yang diciptakan pada 2022. Mungkin ini adalah karya terbarunya di tahun ini.
Membangun Rumah menampilkan penghayatan tubuh Marintan dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar di mana sang tubuh berada.
Panggungnya adalah sebuah instalasi gundukan tanah berbentuk kerucut yang ditata sedemikian rupa dengan pasir, abu, cahaya, dan gerak tubuh.
Pada beberapa kesempatan, Marintan turut memperkaya instalasinya dengan koran, video, musik, rempah-rempah, dan tanaman.
Ia biasanya memulai pertunjukan dengan menggambar lingkaran dari pasir yang mengelilingi masing-masing kerucut dengan ujung jarinya.
Kemudian, ia melumuri tubuhnya dengan pasir dan membuat garis dari tanah berwarna gelap, seolah menghubungkan kerucut-kerucut yang berjejer atau mengubahnya ke bentuk yang sama sekali baru.
Pameran "Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak" diambil dari salah satu karya yang ditampilkan, yaitu Paduan Suara yang Tidak Bisa Berkata Tidak (1997) oleh seniman S. Teddy D.
Sebagian dari seniman yang karyanya ditampilkan dalam pameran adalah Agus Suwage, Araya Rasdjarmrearnsook, Basoeki Abdullah, Belkis Ayn Manso, Bruce Nauman, Danarto, Dolorosa Sinaga, Emiria Sunassa.
Selain itu, Ary "Jimged" Sendy, Kthe Kollwitz, Marintan Sirait, Nguyn Trinh Thi, yvind Fahlstrm, Siti Ruliyati, Tisna Sanjaya, dan Wassily Kandinsky.
Pengunjung pameran juga dapat menyaksikan karya instalasi yang dibuat untuk pameran ini oleh Ho Tzu Nyen dan Cinanti Astria Johansjah.
Pameran "Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak" ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati dan mengenal karya-karya luar biasa dari koleksi Galeri Nasional Indonesia, Hamburger Bahnhof, MAIIAM Contemporary Art Museum, dan Singapore Art Museum.
Dari pameran ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pengunjung untuk dapat memaknai karya-karya di dalamnya, juga narasi sejarah yang menjadi latarnya. Membuka wawasan mengenai karya-karya senima 4 negara.
Pameran yang melibatkan kerja sama antar lembaga budaya di empat negara ini menjadi media diplomasi tentang karya dan tokoh seni rupa, sekaligus lambang semangat untuk pulih dari masa pandemi.
Ingin berkunjung? Sebelum berkunjung, sesuai dengan protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19, pengunjung diwajibkan melakukan registrasi secara daring melalui laman galnas-id.com paling lambat enam jam sebelum jadwal kunjungan.
Pada laman tersebut, pengunjung juga dapat melihat jadwal, jam sesi, dan kuota kunjungan yang tersedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H