Di kamar yang serba putih ini, hanya ada kamu dan aku. Ya, berdua saja. Tidak ada siapa-siapa. Tiada yang mengganggu. Kebersamaan kita.
Di luar langit terlihat sendu. Bulir-bulir air hujan mengetuk kaca jendela. Ketukannya tidak terdengar seperti lagu sedih. Tapi irama yang merindu.
Aku memandangmu. Dengan segenap rasa. Senyumanmu. Tatapanmu. Juga bayangan masa lalumu. Apakah harus aku melupakannya?
Tapi buat apa juga untuk diingat, jika itu akan membuat kita kembali terluka. Raga kita sudah terlalu tua. Putar ulang saja mimpi masa muda kita.
Apa yang sudah kita lalui penuh liku. Ada toksik yang berlarut-larut. Yang hampir menghempaskan. Membiarkannya karam atau terus mengarungi?
Waktu terus bergulir, hingga akhirnya di titik nadir, kita saling menyadari, mencurahkan segala asa, merajut kembali kepingan-kepingan, yang hampir berserakan dimakan lara.
Tidak sempurna, memang. Tapi kita saling menyempurnakan. Mengembalikan semua kepada takdir. Menutupi kekurangan, mengakui kelebihan. Niatkan padaNya.
Terdengar detak suara jam di dinding, mengikuti irama jantung kita. Berdegub. "Aku  ingin menghabiskan waktu, menua bersamamu," kita saling membisiki, di malam tanpa rembulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H