Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dilema Ibu Pekerja, Jika Diniatkan Ibadah, Insya Allah Dimudahkan

24 Desember 2021   12:27 Diperbarui: 24 Desember 2021   12:30 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ketika saya menikah pada 17 tahun lalu, Ibu saya berpesan agar saya tidak berhenti bekerja. Ya, saya memang sudah bekerja saat saya masih kuliah. Terhitung sudah sekitar 10 tahun bekerja saat saya menikah.

Alasannya, selain agar saya lebih berdaya dari segi ekonomi, juga berjaga-jaga jika nanti di tengah perjalanan ada apa-apa. Semisal suami yang bekerja karena suatu sebab kehilangan pekerjaannya.

Atau juga ketika keluarga mengalami kesulitan keuangan dan perlu bantuan, saya bisa bantu-bantu tanpa harus meminta uang suami. Iya, jika suami punya uang. Iya, jika suami mengijinkan. Iya, jika suami tidak pelit. Dan, jika-jika lainnya.

Berkaca pada pengalaman hidup Ibu saya yang mengabdikan dirinya sebagai Ibu rumah tangga, tidak ingin saya mengalami apa yang dialami Ibu saya.

Dulu, ayah saya yang PNS tidak "sesejahtera" seperti ASN saat ini. Ditambah punya anak 5 yang tentu saja membutuhkan pengeluaran yang tidak sedikit. Terkadang ada anggaran yang "direfocusing" untuk menutupi kebutuhan yang lain.

"Jangan seperti Mamah. Mau ini, mau itu kudu minta uang dulu ke Bapak. Bayar sekolah saja susah," kata Ibu saya dalam bahasa Sunda, mengingantkan saya.

Selain itu, Ibu saya tidak ingin saya yang sudah sekolah tinggi-tinggi, eh kok jadi ibu rumah tangga saja. Sayang saja ilmunya jadi tidak terpakai. Orang lain mau sekolah tinggi saja susah, lha kok saya malah "menyia-nyiakan".

Saya pun mengiyakan permintaan Ibu saya ini, meski entah bagaimana perjalanannya nanti. Apakah suami meminta saya berhenti bekerja, entah tetap mengijinkan. Belum ada gambaran.

Suami sih awalnya memang tetap membolehkan saya bekerja, tapi kan belum tahu ke depan-depannya. Apakah jika saya tetap bekerja akan berpotensi memunculkan konflik, saya juga belum tahu.

Beberapa bulan setelah menikah, saya pun hamil. Saya masih tetap bekerja dan saya masih bisa menyempatkan waktu untuk melayani suami.

Saya juga masih sempat beberapa kali ke luar kota dengan menggunakan pesawat terbang, bahkan di saat saya hamil tua. Tentu saja dengan mengantongi surat rekomendasi dari dokter kandungan yang memeriksa saya bahwa kandungan saya baik-baik saja jika dibawa terbang.

Setelah melahirkan, saya pun cuti selama 3 bulan. Mengurus anak, juga melayani suami.  Setelah cuti saya kembali beraktifitas. Tentu saja anak saya masih bayi banget. Jadi, ada perasaan tidak tega untuk meninggalkannya.

Selama anak saya belum berusia 6 tahun, selama itu saya berkomitmen tidak menerima penugasan ke luar kota yang berhari-hari. Kecuali kalau pulang hari itu juga.

Pertimbangan saya, selain karena anak saya masih bayi, juga karena anak saya masih menyusui eksklusif. Murni air susu ibu (ASI). Jadi, kasihan saja kalau harus beralih ke susu formula.

Bisa saja sih saya menampung ASI dan simpan di prezeer. Cuma persoalannya, apakah anak saya mau? Selama ini kan menyusui langsung lewat puting ibu, tiba-tiba rasanya jadinya beda ketika minunnya dari botol dot.

Kalau anak saya tidak mau menyusui, pastinya orang yang dititip untuk menjaga akan mengalihkannya ke susu formula. Oh, saya tidak mau itu terjadi.

Di rumah sih saya masih bisa menampung ASI tapi kan belum tentu ketika saya di luar kota. Bisa saja saya bawa pompa ASI buat ditampung, tapi ribet saja bawanya. Terlebih pekerjaan saya di lapangan. Aduh, nggak deh.

Karena anak saya masih bayi, sebisa mungkin saya tidak menerima penugasan di pagi dan malam hari. Biar saya masih bisa mengurus anak saya terlebih dahulu, dan sorenya saya bisa langsung menyusui anak saya.

Pastinya selama di luar rumah, ASI dalam keadaan penuh dan harus segera disalurkan. Payudara yang membengkak karena penuh oleh ASI bikin tubuh meriang dan sakit di sekitar payudara.

Waktu itu, saya masih menumpang di rumah orang tua saya, jadi saya masih bisa menitipkan anak saya. Kalau ibu saya tidak bisa, entah karena lagi kurang sehat atau ada keperluan lain, saya memutuskan tinggal di rumah.

Kalau saya memang terpaksa harus juga ke luar rumah, karena tidak ada orang lain yang bisa ditugaskan, mau tidak mau saya bawa anak saya kerja. Baik ke lokasi agenda pekerjaan yang harus saya hadiri atau ke kantor untuk membuat laporan.

Waktu masih ASI eksklusif sih, saya tidak perlu bawa apa-apa selain baju ganti, tisu basah, dan popok. Jadi, kalau anak saya lapar, ya tinggal saya susui.

Nah, kalau sudah masanya MPASI, ini yang agak repot. Harus bawa bekal makanan bayi untuk anak saya. Biasanya sih saya bawa yang instan, seperti bubur dan biskuit bayi, yang tinggal diseduh pakai air hangat.

Sudah seringkali saya mengajak anak saya ikut bekerja. Membawanya ke lokasi kegiatan saya. Entah berapa kali juga ikut menginap karena kegiatan yang saya ikuti kebetulan harus menginap.

Tidak jarang saya mengajak ibu saya ketika ada agenda di sekitaran Bogor dan Puncak. Saya meminta bantuan ibu saya untuk menjaga anak saya ketika saya sedang mengikuti kegiatan. Sekalian cuci-cuci mata juga ibu saya. Melihat yang hijau-hijau dan menyegarkan.

Ketika anak saya tiga dengan jarak usia yang tidak terlalu berjauhan, saya berbagi tugas dengan suami.

Anak pertama ikut suami ke kantornya, anak kedua ikut saya, anak ketiga dititip ke ibu saya. Itu kalau si mbak yang membantu saya berhalangan hadir. Kalau ada si mbak, biasanya ibu saya ke rumah ikut mengawasi.

Terkadang saya ajak tiga anak saya ikut kegiatan saya jika lokasi kegiatan berkaitan dengan anak-anak semisal peluncuran film anak-anak, atau produk anak lainnya.  

Jadi, terbayang kan "repotnya" saya. Tangan kanan pegang anak pertama, tangan kiri pegang anak kedua, si kecil digendong pakai gendongan bayi, dan tas berisi bawaan anak-anak menyelempang di bahu saya hahaha...

Belum lagi kalau naik kereta. Jaman dulu mah kereta belum senyaman sekarang. Butuh berjuangan hehehe...

Kalau anak saya sakit karena demam. biasanya saya memutuskan untuk tidak ke mana-mana. Terlebih jika suhu tubuhnya di atas 38 derajat selsius.

Biasanya kan anak kalau deman sering rewel. Dan, biasanya yang bisa menangani ya ibunya. Tidak jarang saya harus bergadang.

Biasanya saya baru pergi jika kondisi anak sudah dipastikan bisa ditinggal. Saya kasih catatan ke si mbak atau suami jika di rumah, obat apa yang harus dikasih kalau kondisinya belum juga membaik.

Alhamdulillahnya, karena saya pekerja lapangan, jadi tidak ada keharusan datang ke kantor pagi, atau pulang kantor sore. Tidak ke kantor pun tidak apa-apa yang penting ada laporan.

Jadi, saya masih ada waktu mengurus anak-anak saya. Membuatkan sarapan, mengantar ke sekolah, menjemputnya,  mengambil rapot, rapat sekolah, menemani saat pertandingan, membawanya ke dokter jika sakit, dan lain-lain.

Selama 17 tahun menikah dan selama 27 tahun bekerja, Alhamdulillah semua berjalan baik-baik saja. Pekerjaan saya lancar, urusan rumah tangga lancar, anak-anak juga terpantau dengan baik.

Kalau pun ada masalah, ya masih bisa diselesaikan dengan baik-baik. Mungkin karena dari awal menikah diniatkan ibadah pada Allah, jadi segala urusan saya selalu dimudahkan Allah.

Demikian pengalaman saya

Wallahu 'alam bisshowab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun