Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Suara Orang Tua Sikapi Ujian Sekolah antara Online atau Offline

7 Desember 2021   17:36 Diperbarui: 8 Desember 2021   13:54 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang tua murid saat sesi "curhat" (dokumen pribadi)

Jumat, 4 Desember 2021, ada pertemuan orang tua murid semua kelas 9 dengan pihak sekolah. 

Pihak orang tua diwakilkan oleh 3 koordinator kelas, sementara pihak sekolah dihadiri oleh kepala sekolah dan tim manajemen sekolah.

Saya, termasuk yang hadir, mewakili kelas 9A, bersama dua orang tua murid lainnya. Kelas 9 sendiri di SMPN 1 Depok, Jawa Barat, ada 11 kelas (A-K).

Jadi, pertemuan itu dihadiri sekitar 30 orang tua murid karena ada beberapa orang tua yang tidak hadir.

Pertemuan ini membahas berbagai hal. Di antaranya, apakah perpisahan kelas 9 dilakukan secara virtual atau offline? Ujian Sekolah (pengganti Ujian Negara) secara online atau offline?

Selain itu, pertemuan tersebut juga untuk bersilaturahmi dengan Kepala SMPN 1 Depok, Erna Iriani, M.Pd  yang baru beberapa bulan ini menjabat.

Ia dilantik menjelang pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT) pada Oktober 2021. Sebelumnya, ia menjabat Kepala SMPN 3 Depok.

Karena itu, ia ingin mendengar masukan-masukan dari orang tua murid kelas 9. Majulah satu persatu perwakilan korlas, dimulai dari kelas A hingga kelas K.

Mengenai pembelajaran, sebagian besar orang tua menginginkan diadakan secara tatap muka. Orang tua mengaku sudah lelah menjadi "guru" anak-anaknya.

Terlebih apa yang dipelajari berbeda jauh dengan ketika para orang tua duduk di bangku SMP. Selain rentang waktu yang cukup jauh, juga materi pelajarannya tidak sama dengan dipelajari dulu.

Sistem pembelajaran secara daring dinilai tidak efektif. Pengawasan kegiatan belajar mengajar anak kurang. Selain itu, anak mulai jenuh berada di rumah.

Belajar daring juga membuat anak-anak malas belajar. Kalau ada tugas dari sekolah anak-anak baru belajar. Selebihnya "main" handphone.

Orang tua murid saat sesi
Orang tua murid saat sesi "curhat" (dokumen pribadi)

Keluhan lainnya, selama belajar daring anak-anak lebih sering menjadi kaum rebahan. Mengikuti kelas online ya sambil rebahan di tempat tidur, tidak jarang tanpa mandi. Tidak juga pakai seragam.

Tidak ada suasana sekolah yang dirasakan anak-anak. Terlebih guru juga lebih sering memberikan tugas daripada menjelaskan. Ini yang membuat anak-anak jadi kurang bersemangat.

Mata pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) misalnya, bukanlah sekadar pelajaran menghapal. Keduanya membutuhkan penjelasan dari guru.

Memberikan tugas tanpa penjelasan guru, bagi orang tua, jelas sesuatu yang memberatkan dan membingungkan anak-anak. Anak-anak bingung, apa lagi orang tua, ya mana paham?

Solusinya, anak-anak akhirnya bertanya pada Google. Jika anak bertanya soal pelajaran ke orang tua, orang tua lantas menyarankan bertanya saja ke Mbah Google.

"Saya sebagai orang tua inginnya guru memberikan penjelasan melalui slide. Jadi, saat online tersorot, kemudian diterangkan jalannya bagaimana, tapi dikemas dengan cara menarik," tutur salah satu orang tua murid.

Kata kepala sekolah, keluhan yang disampaikan orang tua murid kelas 9 ini juga disampaikan oleh orang tua murid kelas 7 dan kelas 8, dalam pertemuan sebelumnya.

Jadi, selama 2 tahun terakhir ini, belajar secara daring, menurut saya ya masih begitu-begitu saja.  

Nah berbeda dengan Ujian Sekolah --  pengganti Ujian Nasional (UN) bagi kelas akhir. Suara orang tua terpecah. Ada yang ingin dilaksanakan di sekolah, ada yang juga inginnya dilaksanakan di rumah alias daring.

Bagi orang tua yang menginginkan Ujian Sekolah di sekolah, lebih karena untuk mengajarkan anak bertanggung jawab pada dirinya. Sejauh mana ia mampu menyerap pelajaran yang dipelajarinya selama ini.

Sebagaimana kita ketahui, Ujian Sekolah menjadi salah satu komponen penilaian akhir tahun (PAT) sebagai syarat kenaikan kelas atau kelulusan.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Nah, bagi orang tua yang memilih Ujian Sekolah di rumah atau daring, lebih karena tidak ingin nilai anak di bawah KKM atau Kriteria Ketuntasan Minimal.

Karena selama 2 tahun terakhir ini, ketika ujian harian, ujian tengah semester, ujian akhir semester dilaksanakan secara online, nilai anak-anak cukup terdongkrak. 

Nilai ini diakui orang tua mungkin berkat "pertolongan" Mbah Google yang tahu segala hal.

"Jadi, kalau bisa ya Bu, ini sih keinginan saya, Ujian Sekolah diadakan secara daring aja, biar nilai-nilainya bagus-bagus," kata orang tua murid yang lain seraya tertawa malu.

Bagaimana dengan anak-anak? Anak-anak sepertinya juga menginginkan hal yang sama. Setidaknya begitu kata anak-anak saya.

"Kenapa pilih online?" Tanya saya.

"Biar bisa nyontek," jawabnya sambil tertawa.

Tetapi kalau belajar biasa lebih enak jika secara tatap muka. Alasannya sih biar bisa langsung bertanya kepada guru jika ada hal-hal yang tidak dimengerti.

"Belajar online nggak ngerti, susah dipahami," begitu kata anak saya.

Kepala Sekolah menyampaikan, Ujian Sekolah apakah dilaksanakan secara offline atau online, semua tergantung instruksi dari Dinas Pendidikan. Juga tergantung situasi pandemi Covid-19. Bukan pihak sekolah yang mengambil keputusan.

Sejatinya, ujian dengan bertanya ke Google tidak beda jauh dengan ujian tesis yang open book. Bedanya, open book bukunya tebal-tebal, dan untuk mencarinya membutuhkan waktu.

Sementara kecanggihan internet memungkinkan orang bertanya apa saja kepada Google. Dalam waktu singkat, jawaban pun tersedia.

Ya begitulah kemajuan teknologi. Terlebih di era digital. Tidak bisa disalahkan juga. 

Namun, ia menekankan, ujian tanpa pengawas bukan berarti tanpa pengawasan. Anak-anaklah yang menjadi pengawas diri mereka masing-masing.

Di sinilah ujian kejujuran diterapkan. Jujur bukan saatnya lagi hanya teori tapi harus diamalkan.

Sekarang yang perlu ditanamkan bagaimana anak termotivasi untuk menciptakan suasana di rumah seperti di sekolah.

Misalnya, sebelum sekolah daring dimulai, anak-anak bersiap-siap. Mandi, mengenakan seragam sekolah, duduk rapi, ya seperti berangkat ke sekolah. Kamera juga dihidupkan.

Jangan seperti yang sudah-sudah, ketika kamera guru on, eh sebagian besar kamera anak-anak off. Jadi, terkesan guru berhadapan dengan benda mati.

Terkait kendala perangkat dan jaringan, pihak sekolah sudah mengantisipasinya dengan menyiapkan ruang khusus. Ada laptop yang dipinjamkan. Ada juga HP yang diberikan gratis kepada siswa tidak mampu.

"Semua dapat terwujud berkat dukungan orang tua murid yang bergerak mengumpulkan donasi dari orang tua murid yang memiliki kelebihan rejeki," tuturnya.

Bagaimana dengan saya? Saya pilih Ujian Sekolah secara offline atau online? Saya mah pilih suara terbanyak saja hehehe...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun