Para pendukung gerakan 212 mengklaim hukuman tersebut didasari motif politik. Termasuk penangkapan beberapa sosok ulama, salah satunya anggota Komisi Fatwa MUI, oleh Densus 88. Penangkapan ini sebagai bentuk "kriminalisasi" ulama.
Saya sendiri tidak tergerak untuk ikut reuni 212. Termasuk kawan-kawan saya sesama "alumni" gerakan 212. Beragam alasan.
Kalau pertimbangan pribadi saya, khawatir saja reuni 212 Â disusupi oleh kepentingan tertentu. Terlebih saat ini, suhu perpolitikan di Indonesia sedang hangat-hangatnya menjelang pemilihan presiden 2024.Â
Apakah penilaian saya benar atau tidak, ya saya tidak tahu. Saya bukan pengamat politik, juga bukan politisi. Bukan juga pakar. Jadi, dugaan saya bisa jadi benar, bisa juga salah. Â
Menurut pandangan saya sebagai orang awam, aksi reuni ini sangat berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan aktor-aktor politik pada Pemilu 2024. Disusupi untuk menjatuhkan lawan politiknya. Lha, bisa jadi kan?Â
Adalah fakta jika suatu organisasi, entah berlabel agama, nasional, atau sosial, menjadi incaran kepentingan-kepentingan tertentu yang tentu saja untuk tujuan-tujuan tertentu.Â
Coba saja diperhatikan, aksi reuni 212 beberapa kali digelar pada waktu yang berdekatan dengan pemilihan umum. Yang cenderung mendukung atau menguntungkan calon tertentu.
Meski aksi reuni 212 mengklaim bukan sebagai gerakan politik, namun aromanya sangat politik.Â
Sebut saja saat reuni pada 2018 yang dihadiri Prabowo Subianto. Saat itu, ia mencalonkan diri dalam Pilpres 2019. Dalam reuni tersebut disuarakan dukungan terhadap Prabowo.Â
Lalu saat reuni 212 tahun 2019, ada pernyataan dukungan kepada Anies Baswedan untuk mencalonkan diri di pemilu 2024. Entah itu, dukungan pribadi atau atas nama PA 212. Â