Waktu kami menikah 17 tahun silam, semula suami menyatakan tidak ingin memiliki anak. Alasannya, suami belum siap saja punya anak. Saat itu, suami merasa masih muda dan belum saatnya memiliki anak. Ia juga belum siap dipanggil "ayah" di usianya yang ke-27 tahun.
Terlebih suami anak bungsu dari 8 bersaudara. Jadi, suami sudah kenyang menjadi "pengasuh" keponakan-keponakannya. Saat masih SD saja, ceritanya, ia sudah sering dimintai tolong menjaga anak-anak kakak pertamanya.
Mendengar penuturannya itu saya terdiam. Mencoba mencerna kalimatnya dan memahami keinginannya. Ada rasa kecewa juga. Terlebih apa sih yang diharapkan dari orang tua dari anaknya yang sudah menikah selain kehadiran cucu? Cucu yang akan meneruskan silsilah keluarga dan garis keturunan.
Meski demikian, saya menuruti keinginannya. Punya anak, ayo, tidak punya anak, ayo.
Saya lantas ke dokter kandungan untuk minta dipasangkan spiral atau IUD. Saya memilih kontrasepsi ini karena terbilang lebih praktis. Dalam sekali pemasangan, dapat mencegah kehamilan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Penggunaan IUD ini 99 persen dapat mencegah kehamilan hingga 10 tahun. Selain itu, IUD bisa dilepas kapan saja ketika saya sudah ingin merencanakan kehamilan. Dari segi harga juga termasuk murah karena sekali pasang untuk waktu yang lama.
Menurut saya sih, ya aneh saja menikah tapi tidak ingin punya anak. Bukankah setiap pernikahan pasti mengharapkan keturunan? Bukankah mempunyai anak adalah fitrah manusia?
Di saat pasangan lain berjuang dengan berbagai cara ingin segera punya anak, hingga menghabiskan uang yang tidak sedikit, eh suami saya malah berusaha agar tidak memiliki anak.
Coba deh iseng-iseng melakukan survey atau jajak pendapat. Tidak usah banyak-banyak. Random saja, 20 responden dari kalangan kawan sendiri juga cukup.Â
Tanya deh setelah menikah apakah mereka menginginkan segera punya anak? Saya pastikan hampir sebagian besar menjawab iya.