Pengalaman serupa juga dialami kawan saya, yang saat ini juga sedang melakukan isolasi mandiri. Hasil swab antigennya negatif, tapi ia merasa mengalami gejala-gejala Covid-19. Ia sendiri tidak memiliki riwayat kontak dengan orang yang terkonfirmasi positif Covid-19.
"Meski awalnya swab antigen negatif namun karena gejala muncul ada anosmia, batuk pilek, demam, kehilangan indera perasa  maka PCRlah. Qadarullah hasilnya positif. Dan, lima orang serumah kena semua," ceritanya.
Kawan saya ini mengaku sejak gejala muncul memang sudah memutuskan isoman, meski hasil swab antigen negatif. Sedari awal ia meragukan hasil negatif itu.
Cerita yang sama juga dialami oleh rekan dr. Zaenal Abidin, SH, MH, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2012-2015. Sepengetahuannya, test PCR lebih sensitif dibanding swab antigen.
"Dulu ada juga teman saya saat swab antigen negatif, tapi terdapat gejala klinik menyerupai Covid. Jadi, saya bilang sebaiknya PCR. Ternyata setelah PCR hasil positif. Setelah itu, memutuskan isoman sampai sembuh dan dinyatakan negatif hasil PCRnya," ceritanya.Â
Kawan saya yang lain juga begitu. Hasil swab antigen adiknya dinyatakan positif, sementara kawan saya negatif. Padahal, mereka berdua tidur sekamar dan seranjang.Â
Meski hasil swab antigen negatif, kawan saya ini memutuskan untuk isolasi mandiri selama 7 hari. Untuk berjaga-jaga saja. Ia menyadari dirinya termasuk kontak erat dengan terkonfirmasi positif. Ia sendiri tidak mengalami gejala-gejala Covid-19.
Setelah sepekan isoman, ia juga tidak merasakan gejala-gejala Covid-19. Jadi, ia pun menyakini dirinya sudah "sembuh".Â
Itu yang memiliki kesadaran dan "ngeh" ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya, jadi ia mengambil keputusan yang tepat. Atau setidaknya minimal isolasi mandiri.
Persoalannya, bagaimana yang tidak sadar jika swab antigen itu negatif palsu? Karena hasilnya negatif, maka ia merasa baik-baik saja. Termasuk saya. Karena hasil swab antigen ibu saya negatif, bahkan berulang kali hasilnya negatif, saya jadi lengah.
Selama ini, masyarakat beranggapan kalau deman, batuk pilek hanya dianggap kurang enak badan, masuk angin saja atau kecapean dan lain-lain. Karena itu, mereka masih jalan-jalan, ngobrol, tanpa masker. Persepsi soal sakit inilah yang keliru.