"Ini bukan lagi suspek tapi sudah bisa dipastikan Covid-19. Kita tunggu hasil PCR-nya," jelas dokter kepada saya dan abang saya di ruang IGD seraya memperlihatkan foto hasil CT scan paru-paru ibu saya.
Saya jadi dag dig dug sendiri. Kalau ibu saya positif Covid-19, berarti saya, suami, anak-anak, dan bapak saya juga positif. Meski anak-anak menjaga jarak dengan ibu saya, tetapi kan anak-anak tidak berjarak dengan saya.
Dari orang rumah yang selalu berdekatan dengan ibu saya, ya sayalah yang paling sering. Saya yang memberinya obat, menyuapinya, memapahnya, mendampinginya ke rumah sakit, dan lain-lain. Terbayang kan bagaimana kegelisahan saya?
Sebelumnya, beberapa kali ibu saya tes antigen hasilnya selalu negatif. Hasil inilah yang membuat saya, suami, dan bapak saya jadi tenang.Â
Terlebih berdasarkan hasil pemeriksaan cek darah, tidak ditemukan ada infeksi virus. Jadi saya merasa aman berdekatan dengan ibu saya. Terkadang malah tanpa masker.
Nah, karena perlu mengurus administrasi dan pendamping, maka pendamping harus ditest antigen. Prosedurnya begitu di rumah sakit ini. Swab antigen harus di sini. Tidak terima hasil swab antigen dari pihak luar.
Kalau sudah antigen di luar, berarti tetap harus antigen lagi di sini. Mungkin maksudnya untuk memudahkan penelusuran jika terjadi kasus. Pihak rumah sakit tinggal membuka data.
Jadilah saya test antigen sekalian untuk memastikan apakah saya kena Covid-19 atau tidak. Abang saya sih negatif karena sebelumnya sudah test antigen di luar. Setelah menunggu sekitar 30 menit, ternyata hasilnya positif.
Kalau saya positif berarti kemungkinan besar hasil PCR ibu saya positif. Dari mana saya bisa tertular selain dari ibu saya? Dan, ternyata beberapa hari kemudian hasil PCR ibu saya positif.
Ketika saya mengetahui saya positif, seketika saya jadi was-was sendiri. Bagaimana dengan anak-anak saya? Terlebih beberapa hari itu anak-anak tidak fit juga. Demam, batuk, mual-mual. Kalau suami saya sudah kehilangan penciuman dan pengecapan.