Namanya Luna. Kulitnya sawo matang cenderung coklat. Tapi bersih dan berkilau. Â Tubuhnya berisi. Kalau berjalan kunciran buntut kudanya bergoyang ke kanan ke kiri.
Di kepalanya terpasang topi berwarna orange. Jadi terlihat lebih cantik dibanding kawan-kawannya yang berjalan di depan atau belakangnya.
Usianya masih muda. Baru 14 tahun. Tapi fashionable. Di badannya dipenuhi pernak pernik. Mungkin untuk melindungi kulit punggungnya agar tetap mulus meski tersengat sinar matahari.
Mungkin karena masih muda, saat berjalan suara sepatunya terdengar kuat dan tegas. Tak tik tuk. Tak tik tuk. Tak tik tuk. Begitu saat kakinya melangkah.
"Namanya Luna, pakai Maya nggak Pak? Jadi Luna Maya. Artis yang terkenal itu lho Pak," kata saya kepada sosok lelaki yang duduk di samping saya.
"Oh, nggak. Luna aja," katanya tertawa.
Luna ini adalah nama kuda yang membawa saya, Nurul Mutiara dan Agus Subali -- dua kawan Kompasianer pemenang blog competition Sound of Borobudur, mengitari desa di Kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Sejak usia 2 tahun Luna sudah dipercaya menarik andong milik pak Supardi (semoga saya tidak salah ingat). Selain Luna, pak Supardi punya satu kuda lagi, yang tidak lain induk dari Luna.Â
(Tapi, katanya sih, Luna dan induknya tidak akan lagi bertemu karena induknya rencananya akan beralih ke tuan yang baru. Mungkin bertemunya jika berpapasan di jalan)
Hmmm...kalau dikasih nama Luna Maya, keren juga. Mungkin diberi nama Luna saja khawatir yang punya nama protes. Masa perempuan cantik disamakan dengan kuda? Apa kata dunia? Hehehe...
Baca juga: Asyiknya Naik Jeep Keliling Desa Wisata Borobudur
Naik andong keliling desa? Terbayang tidak? Semakin seru saja bukan perjalanan kami ini? Pagi mengelilingi desa dengan naik jeep, siangnya menumpang VW klasik menjelajahi dusun, eh menjelang sore menyusuri jalan setapak dengan naik andong.
Kapan saya terakhir naik andong ya? Lupa. Sudah lama banget deh. Waktu masih kecil saya sering naik nayor (kendaraan sejenis andong di Jawa Barat).
Kalau di Jakarta mah disebutnya delman. Pernah juga naik delman saat mengelilingi Monas bersama anak-anak saya, tapi itu sudah lama banget. Entah tahun kapan. Pokoknya beberapa tahun lalulah.
Jadi, lagi-lagi saya antusias naik andong. Ketika usai makan siang di De'Menake, eh kami dijemput andong.Â
Ada lima andong yang siap mengantar kami. Setiap andong diisi oleh tiga penumpang. Jadi formasinya saya bikin tetap: saya, Nurul Mutiara, Agus Subali hehehe...
Nah, yang menjadi pertanyaan mengapa kami diajak naik andong keliling desa? Apakah cuma sekedar jalan-jalan dengan kendaraan tradisional ini? Atau sekedar memutar kenangan masa lalu?
Ternyata eh ternyata andong ini sudah ada sejak 800 masehi. Tergambar juga di relief Candi Borobudur lho. Tidak percaya? Coba saja ditelusuri relief di Candi Borobudur. Pasti ditemukan terpahat andong di sana Jadi andong ini lebih antik, jadul, kuno daripada mobil VW klasik. Iya, kan?
Baca juga: Keliling Desa Naik VW Camat, Wisata Tidak Biasa di Kawasan Borobudur
Itu berarti andong ini berkorelasi erat dengan Sound of Borobudur. Sekali lagi, benar kan jika Sound of Borobudur bukan sekedar bicara tentang alat musik yang terpahat di relief Candi Borobudur? Semuanya saling berkaitan ternyata. Tidak berdiri sendiri.
Pesona Candi Borobudur memang tidak ada habisnya untuk mendatangkan wisatawan lokal maupun mancanegara. Bukan rahasia lagi jika Borobudur adalah salah satu candi terbesar dan termegah yang dimiliki Indonesia.
Nilai sejarah dan filosofi dari Candi Borobudur yang dibangun sejak abad ke VII inilah menjadi magnet yang menarik banyak wisatawan tidak bosan-bosannya berkunjung ke sini.
Nah, di balik keindahan dan kemegahan Candi Borobudur ternyata menyimpan wisata alam yang memesona. Bahkan terdapat desa wisata yang tidak jauh-jauh amat dari Candi Borobudur.
Pesona inilah yang dimanfaatkan oleh paguyuban andong untuk menjadikannya sebagai kendaraan wisata untuk wisatawan melihat keindahan desa-desa di sekitar Borobudur.
Dengan naik andong, kita bisa berkeliling desa sambil menyaksikan secara langsung kegiatan masyarakat di desa tersebut. Seperti halnya dengan jeep dan VW klasik, naik andong juga bisa mampir ke sentra-sentra kerajinan rakyat. Dan, ini tentunya akan menjadi pengalaman yang mengesankan bagi wisatawan.
Baca juga: Mengunjungi Dusun Klipoh, Desa Wisata Perajin Gerabah, Tidak Jauh dari Candi Borobudur
Saya saja tertarik kok. Melihat hamparan sawah. Melewati jalan setapak. Jadi ingat lagu "Naik Delman" karya Ibu Sud. Dari saya masih kecil sampai saya punya anak, lagu ini masih selalu dinyanyikan.
Pada hari Minggu ku turut ayah ke kota. Naik delman istimewa kududuk di muka. Kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja. Mengendarai kuda supaya baik jalannya, hei
Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk. Tuk tik tak tik tuk tik tak suara sepatu kuda. Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk. Tuk tik tak tik tuk tik tak suara sepatu kuda
Saya memang duduk di samping pak kusir yang sedang mengendalikan Luna. Sengaja pilih duduk di depan biar mata leluasa melihat keunikan dan keindahan desa. Asri dan alami.
Sambil mengobrol, pak kusir yang ramah ini bercerita, kalau andong wisata lebih bersih karena tidak buang kotoran sembarangan yang berceceran di jalanan. Pak kusir sudah menyiapkan tempat kotoran tersendiri yang letaknya di bagian bawah andong. Kotoran ini nantinya dijadikan kompos.
"Kalau melihat kotoran kuda berceceran di jalan, berarti itu bukan andong wisata tetapi andong pasar," jelasnya.
Dengan penjelasan ini, mungkin maksudnya agar tidak terjadi kesalahpahaman saja. Jangan sampai wisatawan mengarahkan telunjuknya lalu menuding kotoran kuda yang berceceran di jalan berasal dari andong wisata.
Karena selama ini dalam paguyuban andong pariwisata sudah diberikan pelatihan bagaimana menjaga dan merawat andong berikut kudanya agar bisa menjadi icon wisata di Borobudur ini.
Pak kusir sih berharap dengan adanya andong pariwisata ini terjadi peningkatan kesejahteraan warga sekitar sekaligus bisa mempertahankan kendaraan tradisional ini agar terus bisa dilestarikan.
Terlebih Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, menyebut potensi kunjungan wisatawan ke Magelang dan daerah sekitarnya mencapai antara 8 hingga 12 juta orang.
Namun, selama pandemi ini, pak kusir mengaku pendapatannya menurun. Sebelumnya pendapatan bersih yang bisa dibawa pulang rata-rata Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per hari. Kini, untuk memperoleh nominal uang yang sama, tidak mudah.
"Biasanya bisa melayani 3-4 kali trip wisata dalam sehari, kalau sekarang-sekarang 1-2 kali trip, bahkan sering juga tidak ada. Padahal biaya merawat kuda cukup banyak juga," ceritanya.
Meski demikian, pak kusir tetap memperlakukan Luna dengan baik. Selain dirawat seperti layaknya anak sendiri, Luna juga diberikan vitamin dan makanan yang bergizi.
Kami terus mengeliling desa dengan andongnya, melewati tanah tegalan yang ditanami tumpang sari, mengunjungi beberapa homestay yang direkomendasikan. Â Lalu andong berhenti di Limanjawi Art House yang berada di Dusun 1, Desa Wanurejo.
Di sini, andong-andong menunggu kami yang tengah menikmati keindahan lukisan-lukisan dari berbagai pelukis Indonesia dan luar negeri. Bagaimana dan apa itu Limanjawi Art House, akan saya tulis tersendiri.
Setelah puas berada di sini, kami pun melanjutkan perjalanan hingga ke tujuan terakhir di Coffe Luwak Pawon dan Candi Pawon. Kebetulan lokasinya saling berdekatan. Tinggal jalan kaki saja. Bagaimana kisah saya di sini, ya tunggu saja episode berikutnya. Ok? Ok? Ok?
Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk. Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk. Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk. Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk suara sepatu kuda pun meninggalkan kami... Sampai jumpa di lain kesempatan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H