Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sound of Borobudur, Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik

30 Juni 2021   13:25 Diperbarui: 30 Juni 2021   14:23 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musisi Trie Utami (Dokumen pribadi)

Sudah pernah ke Candi Borobudur? Sebagian besar pasti sudah. Ini kan candi termegah dan termasyur. Siapapun pasti akan tahu. 

Ketika nama candi ini disebut, kepala kita sudah membayangkan kemegahannya. Jadi, sekalipun belum pernah menjejakkan kaki ke sini, tapi sudah punya gambaran. 

Apa yang kita lakukan saat berada di Candi Borobudur? Foto-foto, selfie-selfie. Sudah, begitu saja.  Iya, kan? Sama. Saya juga begitu.  Untuk sekedar menunjukkan bahwa saya sudah ke sini lho, dengan latar Candi Borobudur atau saat memegang stupa. (Menjadi pengecualian bagi ahli sejarah, antropologi, sosial budaya, dan yang terkait di dalamnya).

Tidak ada edukasi yang saya dapatkan selain informasi yang saya baca di buku pelajaran sejarah. Bahwa, Candi Borubudur dibangun pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi pada masa pemerintahan Dinasti Syailendra. Bahwa Borobudur adalah salah satu keajaiban dunia yang diakui Unesco. 

Ternyata, Candi Borobudur lebih dari sekedar itu. Jika kita memperhatikan relief-relief yang ada di Candi Borobudur, kita akan menemukan banyak pelajaran hidup yang masih sangat relevan dengan kehidupan masa kini, bahkan kehidupan masa depan.

Di relief candi yang berada di Magelang, Jawa Tengah, itu menyimpan berbagai ilmu pengetahuan dan rekam jejak peristiwa dan fenomena masyarakat Jawa kuno. 

Jika kita amati, Candi Borobudur memiliki narasi visual panel relief sarat akan makna. Mulai dari nilai hidup, moral, pengetahuan agama, sejarah, budaya, dan seni, termasuk musik.

Relief-relief itu menegaskan bahwa masyarakat Jawa kuno telah mengenal berbagai macam seni pertunjukan, mulai dari seni drama, tari, sastra, hingga musik. 

Ya, kalau kita perhatikan lebih seksama lagi, ternyata pada jaman itu sudah ada orkestra, lengkap dengan berbagai alat musik. 

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Ada lebih dari 200 relief bertema musik yang berada di 40 panil yang menampilkan lebih dari 60 jenis alat musik: petik, tiup, pukul, dan membran, dari berbagai daerah di nusantara dan banyak negara di dunia.

Adapun alat musik yang terdapat pada relief terdiri atas 4 jenis yaitu:
1. Jenis idiophone yaitu alat musik yang dipukul atau diketok. Alat pemukulnya ada yang terbuat dari kayu atau besi. Contohnya, gong, kulintang, arumba, gambang, saron, gender, kentongan, kerincingan, dan lainnya.

2. Jenis membraphone yaitu alat musik yang terbuat dari kulit yang berbentuk lingkaran. Contohnya gendang, tambur, dogdog, kentingan, dan lain-lain.

3. Jenis chardophone, alat musik yang terbuat dari senar atau tali, yang dimainkan dengan cara digesek. Contohnya biola, rebab, tatawangsa, gambus, dan rebab.

4. Jenis aerophone, yaitu alat musik yang ditiup yang bunyi iramanya dihasilkan dari getaran udara yang diatur oleh lubang-lubang yang ada pada instrumen tersebut seperti seruling, terompet. 

Baca juga: Sound of Borobudur, Membunyikan Ulang Sejarah Peradaban dan Budaya Bangsa

Pada jaman itu, seni musik melekat pada kegiatan ritual upacara, budaya, dan hiburan masyarakat. Bisa sebagai media ekspresi, komunikasi, maupun diplomasi.

Dan, ternyata, alat musik tersebut setelah ditelusuri ada hingga jaman sekarang. Percaya tidak, alat-alat musik yang ada di pahatan relief sebagian sudah dire-interpretasikan oleh para musisi yang selama 5 tahun ini menggaungkan "Sound of Borobudur". 

Alat-alat musik ini pun dimainkan dan diperdengarkan saat Konferensi Internasional Sound of Borobudur "Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik", di Balkondes (Balai Ekonomi Desa) Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (24/6/2021).

Perhelatan ini hasil kolaborasi Harian Kompas dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama Yayasan Padma Sada Svargantara.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Saat saya mendengarkan alunan musik dan nyanyian nasionalis yang dibawakan musisi Trie Utami, Dewa Budjana, Viky Sianipar, dan kawan-kawan musisi dari Medan, Lombok, Bali, Papua dan daerah lainnya, begitu memukau. 

Rasanya tidak percaya, alat musik yang ada pada abad ke-8 itu bisa dimainkan begitu apik di jaman sekarang. 

Saya seperti tengah menyaksikan pagelaran orkestra. Bukan lagi sekedar melihat di Youtube, tapi saya melihatnya langsung, dengan mata kepala sendiri. Nyata adanya. Dan, memang sungguh memukau. 

Saya jadi membayangkan berarti pagelaran musik kala itu alunan musiknya pasti juga begitu indah seperti yang dimainkan Trie Utami dan kawan-kawan musisi lainnya. 

Saat alat musik itu dimainkan dan menciptakan irama, slSound of Borubudur pun menggema. Yang bisa jadi membuat tamu-tamu kerajaan terpesona dan terhipnotis seperti halnya saya dan hadirin lainnya.

Bukan hanya saya saja yang terpukau, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, yang juga berkesempatan membuka konferensi itu.

Menteri mengaku merinding mendengarkan lagu "Indonesia Pusaka" karya Ismail Marzuki, dimainkan para musisi dengan alat musik yang terpahat di relief Candi Borobudur.

"Merinding saya. Merinding banget. Di tengah pandemi kita bisa menghayati kekayaan luhur bangsa kita. Sungguh saya terharu," ungkap Sandi.

   Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (Dokumen pribadi)
   Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (Dokumen pribadi)
Menurut Sandiaga, Sound of Borobudur akan menjadikan Indonesia tidak hanya sebagai pusat musik dunia, tetapi juga pusat tradisi dunia. Bukan sekedar membunyikan ulang alat-alat musik yang ada pada tahun 700--800 Masehi, tetapi lebih dari itu. 

Ajang ini juga dapat membangun sebuah gerakan bersama di tingkat dunia untuk menggali dan menghidupkan kembali jejak persaudaraan lintas bangsa yang diwariskan oleh leluhur Indonesia melalui musik.

Bagaimana dari Sound of Borobudur kita bisa menggali jejak persaudaraan lintas bangsa melalui musik. Lintas bangsa yang kala itu berelasi dengan kerajaan-kerajaan Nusantara dan dunia.

Dari orkestra "Sound of Borobudur" ini, terungkap bagaimana jejak peradaban Indonesia dan relasinya dengan seluruh pelosok dunia. 

Bagi Sandiaga, Sound of Borobudur pun menjadi momentum yang tepat untuk menggali sumber pengetahuan dari Candi Borobudur. Menggaungkan kembali nilai-nilai universal yang terdapat pada reliefnya.

"Ternyata, nilai toleransi, menghargai keberagaman, persahabatan antarbangsa telah dijunjung leluhur kita. Kita perlu belajar dari sini," ucap Sandiaga.

Sound of Borobudur ini sejatinya menjadi perpustakaan dan pusat musik dunia. Setidaknya tergambar dari relief-relief Candi Borobudur. Dan, ini pun dikuatkan oleh karya ilmiah yang ditulis oleh para ahli di bidangnya. Baik dari aspek kultural, arkeologi, antropologi, etnomusikologi, dan sejarah.

Musisi Dewa Budjana (Dokumen pribadi)
Musisi Dewa Budjana (Dokumen pribadi)
Purwa Tjaraka, Pengampu Utama Yayasan Padma Sada Svargantara sekaligus Programmer Sound of Borobudur, mengatakan, sudah saatnya fakta peradaban tentang Borobudur ini diperkenalkan sebagai aset bangsa. 

Menurutnya, ini menjadi pembelajaran bahwa bangsa ini dulu berkumpul, bersatu, bermain musik bersama, dan dipastikan punya rasa toleransi antarsuku dan antaragama. 

"Musik tidak memilah-milah suku atau agama. Semua suku bangsa di dunia ini menjadikan musik sebagai kebutuhan hidup yang sudah bersatu dengan jiwa dan raga," ujar Purwa saat menyampaikan pandangannya secara online. 

Jadi, pada konferensi internasional ini, kita lihat kembali jejak peradaban yang dimiliki bangsa ini, serta relasi yang terjalin. Kita lihat  ternyata berbagai bangsa memiliki alat musik terpahat di relief. 

"Saya sangat impres, saya ingin belajar bahwa orkestrasi dari alat musik, betapa majunya saat itu, nilai toleransi, menghargai keberagaman, persahabatan antar bangsa sudah dijunjung leluhur kita. Kita harus banyak belajar dari sini," tegasnya.

Pelaku orkestra Addie MS juga kagum dengan orkestra Sound Of Borobudur. Ini membuktikan pada 13 abad lalu, bangsa kita sudah bergaul dengan akrab. Dan, kini dihadirkan kembali di tengah keterbatasan komunikasi. Sungguh luar biasa.

Musisi Trie Utami (Dokumen pribadi)
Musisi Trie Utami (Dokumen pribadi)

Musisi Trie Utami sebagai pengagas Sound of Borobudur, bersyukur karena apa yang sudah dilakukan selama lima tahun terakhir di Borobudur, bisa membuka mata bahwa banyak nilai luhur yang didapat dari nilai peradaban masa itu.

"Ini bukanlah hal yang mudah sehingga bisa menggelar musik yang dikomposisi bersama-sama. Tanpa Kemenparekraf kita tidak bisa landing dari Borobudur," kata musisi yang akrab disapa Iie itu

Borobudur milik bangsa Indonesia dan milik dunia. Borobudur sudah memanggil, dan kita akan menjawab dengan tindakan kongkrit dan nyata sehingga bermanfaat untuk bangsa dan negara," kata Iie, sapaan karib Trie Utami.

Sebagaimana diketahui Candi Borobudur mempunyai 226 relief alat musik jenis aerophone (tiup), cordophone (petik), idiophone (pukul), membraphone (membran), dan 45 relief ensambel.

Bila alat musik itu dimainkan bersama, secara otomatis menumbuhkan rasa toleransi antarsuku, bahkan antaragama karena bagaimanapun Borobudur adalah mahakarya peradaban nusantara.

Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan (Events) Kemenparekraf, Rizki Handayani, mengatakan, konferensi ini bertujuan untuk memperkenalkan Candi Borobudur lebih dalam lagi kepada dunia melalui representasi alat musik yang terdapat pada relief candinya.

Kegiatan ini juga sekaligus mendorong pariwisata berbasis budaya sebagai upaya pelestarian warisan budaya yang berkelanjutan. 

Terlebih musik adalah bahasa universal yang menggali nilai-nilai universal yang terdapat pada relief Candi Borobudur, serta menggaungkan nilai-nilai tersebut ke seluruh dunia.

Jelas, saya salut dan kagum ada sekelompok musisi Indonesia -- di antaranya Purwacaraka, Dewa Budjana, Trie Utami, Bintang Indrianto, Indro Kimpling, Bachtiar Djanan, Redy Eko Prastyo, Didik Nini Thowok, mencoba membunyikan alat-alat musik yang terdapat dalam relief-relief itu.

Para seniman Tanah Air ini telah sukses menciptakan ulang replika alat-alat musik yang selama ini terukir di relief Candi Borobudur. Ada sekitar 17 jenis dawai atau alat musik petik dibuat ulang. 

Semuanya disesuaikan dengan gambar yang terpahat di dalam relief candi Borobudur. Ada juga beberapa macam alat tabuh dari gerabah dan jenis perkusi. 

Saya merasa beruntung bisa menjadi salah satu pemenang lomba menulis "Sound of Borobudur" dan menyaksikan secara langsung orkestra Sound of Borobudur yang menggetarkan jiwa, bahkan menggetarkan dunia.

Borobudur bagi saya, ibarat sebuah buku kehidupan yang siap dibuka, dibaca, dipelajari, dipahami dan sangat mungkin untuk diwujudkan kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun